Monday 30 January 2023

Mengalami Keberagaman

Keberagaman adalah satu isu yang sempat mengemuka. Indah diucapkan, tapi belum tentu bisa dilakukan. Walaupun dalam pelajaran sekolahan dulu kita seperti diyakinkan terus bahwa Bhinneka Tunggal Ika itu hal yang penting dan baik dilakukan di Indonesia. Bahkan slogan tsb dicengkram erat oleh garuda yang dipasang di kelas-kelas sekolahan. Sekarang di ruang-ruang kelas masih selalu dipasang ga sih garuda pancasila tersebut? Udah lama banget ga lihat sekolahan. 

Namun seberapa paham kita akan slogan tersebut? Paham itu beda tentunya dengan hafal dan bisa menjawab dengan tepat saat diajukan di dalam ulangan ataupun ujian sekolah. Hal yang paling penting dari belajar adalah mengamalkannya dan itu bagian yang paling menantang. Seringkali pelajaran-pelajaran sekolah lalu bersama angin. Kelar ulangan, lupa deh. Pas udah naek kelas, lupa lagi deh sama pelajaran tahun kemarin. Saya sih gitu dulu. Bisa jadi model pendidikan sekarang sudah lebih baik kualitasnya dan membuat murid-murid lebih bisa memahami dan menghayati pelajaran yang diberikan. Dan terutama banget tentu saja saya berharap pelajaran sekolah yang didapat di masa sekarang lebih nyambung untuk menjawab tantangan dalam kehidupan sehari-hari. Tapi jangan juga disalahkan pola pendidikan, bisa jadi saya aja sih yang sekolahnya kurang serius. Terlalu sibuk berteman kkwkw. Baru belakangan juga saya sadar sih, salah satu yang bikin semangat saat berangkat sekolah tuh ya karena mau ketemu temen. Agak kurang mulia sih tujuannya, tapi ya itulah yang dulu dirasakan. Jadi wajar aja kalau urusan pelajarannya jadi prioritas nomer sekian. 

Nah, tapi saya merasa agak yakin bahwa ini benar. Belajar bhinneka tunggal ika lah, ada bab toleransi lah dalam pelajaran sekolah, membuat saya tetap shock ketika berhadapan dengan keberagaman. Karena memang tidak pernah atau katakanlah jarang mengalami keberagaman. Ketika ada keberagaman tentang kondisi fisik misalnya, gampang sekali jaman sekolah dulu mengolok-olok guru yang pincang misalnya. Lah, emang salah dia ya pincang? Bisa jadi kecelakaan, atau bisa jadi memang penyakit polio di masa kecil misalnya. Mungkin bukan maksud mengolok-olok, tapi membubuhi seseorang dengan kata: guru matematika yang pincang, itu tentu bukan hal yang bijak kan ya. Tapi kata-kata semacam itu sepertinya terjadi biasa saja di masa lalu. Padahal di luar urusan pincangnya tersebut, guru tersebut misalnya baik metode mengajarnya atau baik pendekatannya kepada siswanya yang sedang beranjak remaja, lantas kenapa harus banget diinget tuh pincangnya. 

Dan saya dari kecil sampai kuliah relatif selalu dalam lingkungan yang homogen. Sehingga terlepas berbagai pengetahuan yang disuapkan para guru melalui pelajaran PPKN/PMP/Pancasila atau apapun judulnya yang ganti-ganti tiap jaman itu, ya dalam diri saya semacam tertanam keyakinan bahwa yang beda atau minoritas itu salah, aneh dan tidak semestinya. Padahal segala hal yang mayoritas, belum tentu semuanya juga benar kan ya?

Mencontek rame-ramee itu benar ga? 
Korupsi rame-rame itu benar ga? 
Terima uang kanan kiri yang bukan hak, benar ga? 
Intinya ga semua yang mayoritas itu salah atau benar. Dan ga semua yang minoritas itu salah atau benar. Tergantung kasus-perkasus. Dan sudut pandang inilah yang akan sulit diperoleh bisa berada terus dalam lingkungan dan homogen dan posisinya selalu menjadi yang mayoritas. Hanya bisa dipahami saat mengalami dan menyelami keberagaman tersebut. Refleksi singkat ini rasanya sangat penting untuk dituliskan sebagai pengingat untuk diri saya sendiri. 

Pertanyaan selanjutnya, bagaimana cara agar pemahaman ini bisa meluas di sekitar kita? Teman-temen yang ambil peran untuk berkampanye tentang keberagaman tentu lebih paham. Tapi dari pengalaman saya, kuncinya tetap sama yaitu kita perlu menciptakan suasana agar mengalami keberagaman tersebut. 

Kalau saya sendiri, lama-lama memahami bahwa orang yang beretnis Cina ya seperti suku-suku lainnya aja. Ada yang pintar, ada yang biasa-biasa, ada yang kaya, ada yang miskin, ada yang ngirit banget, ada yang royal, ada yang pinter dagang, ada yang boro-boro dagang kwkw, kayanya barang abis duit ambas kalo dikasi modal pun. Jadi ga bisa kita bilang: kalo orang Cina mah bla bla. Cina yang mana dulu? Karena ya bervariasi juga jenis-jenis orangnya. Sama halnya dengan ga bisa kita bilang semua orang dari suka Sunda itu pasti doyan dandan dan demen tampil wahhh (walau ga punya uang) dan ga semua orang dari suka Jawa itu hemat dan hidup prihatin. Saya bisa paham hal seperti ini setelah mengalami pertemanan dengan beberapa orang Cina. Ya berteman dan bekerja bareng. Dan ya gitu weh. Walaupun pas awal bertemu langsung radar dalam diri saya seperti langsung nyala dan scanning berdasarkan pemahaman saya yang selalu berada di lingkungan homogen. Tapi sesungguhnya, walau terlihat akraban, saya akan cenderung begitu terhadap orang baru. Mau suku apapun. 

Jadi saya bisa paham benarr, bila kebanyakan dari orang-orang di Indonesia ini dikit-dikit sensi sama suku XYZ. Begitupun juga sepertinya dengan Akang. Tidak pernah berinteraksi sama teman-temen dari etnis Cina membuatnya tidak mengalami keberagaman. Orang Cina yang sempat rutin diketemuinya adalah salah satu pembeli  buku, jaman dulu masih nyambi jadi tukang jaga kios buku di Pasar Cihaur geulis. Yang akang ingat benar adalah si pembeli buku yang orang Cina ini kalo beli buku banyakkk. Jadi pengalaman yang didapat nih selaras dengan anggapan orang kebanyakan bahwa orang-orang Cina ini kaya raya semuanya. Padahal temen-temen Cina saya mah ga gitu da wkwk.

Saya dan akang sekarang ngontrak di Cinunuk dan depan rumah itu ibunya baik bener dan beretnis Cina. Dari awal saya masuk ke grup warga, si ibu yang japri dan menyapa duluan. Kalau saya nongol di depan untuk jemur baju dan si ibu kebetulan lagi nongol juga, pasti selalu nyapa. Termasuk saat saya kebanjiran dan air masoookk ke dalam rumah, nitip kasur ya ke rumah si ibu. Sampai ditengokin pas saya lagi berjibaku dengan banjir sendirian karena akang belum pulang. Singkat kata si ibu teh baik aja gitu lah ya. Dan akang pernah bilang: si ibu teh bageur nya. Ya, sebetulnya mau etnis apa pun, sebetulnya yang begini-begini mah bawaan orang aja pan ya. Tapi sepertinya ada pemahaman baru yang akang dapat setelah mengalami keberagaman ini dalam waktu hampir 1.5 tahun lebih.  

Saya yang membuat saya terkesan kemarin adalah saat si ibu teh bakal kedatangan tamu banyakan untuk acara doa.  Lalu si ibu teh minta ijin bahwa akan ada motor yang mungkin akan berjejer parkir termasuk depan pagar rumah saya. Dan saya sih oke ajalah ya, namanya juga bertetangga dan saya pun pernah kedatangan tamu banyak, pada parkir numpuk-numpuk juga depan rumah dan tentu saja agak brisik, dan si ibu ga protes. Karena ya cuma beberapa kali. Sisanya rumah mah adem ayem aja karena kalo siang isinya cuma saya sendiri. 

Dan justru akang inisiatif agar garasi dibuka aja sekalian untuk keperluan parkir tersebut. Kan memang kosong, daripada nanti parkir numpuk-numpuk di jalan. Saya kepikir sih, tapi agak ragu karena kita emang biasanya pergi kalau sabtu minggu ke Sumedang. Yaudah akhirnya  kunci gerbang diberikan aja ke si ibu saat kita berangkat. Saya yang terbiasa berteman dengan beberapa temen beretnis Cina tetap punya keraguan untuk membuat garasi begitu saja saat pergi (walau ga punya apa2 juga sih dalem rumah wkkw), karena dibesarkan oleh keluarga yang cenderung tertutup pada tetangga. Hidup masing-masing lah istilah gampangnya. Bedanya kalau akang, dia lebih biasa gaul sama tetangga dan terbiasa apa-apa bersama baik di rumah Sumedang maupun dulu di rumahnya di Majalaya. 

Berproses bersama sih jadinya. Saya jadi diajak lebih berbagi dan akang juga mungkin jadi punya pengalaman yang lebih positif untuk hidup berdampingan dengan orang-orang beretnis Cina. 


Catatan: tolong jangan dihujat karena saya sebut Cina bukan Tionghoa ya. Kepanjangan dan rasanya asing aja nyebut spt itu.