Friday 24 April 2020

Menjadi Pintar

Apakah menjadi pintar itu masalah?
Harusnya engga dong. Dengan kita menjadi pintar, tentu jadi lebih banyak hal bisa diraih.

Dalam pekerjaan misalnya, kita jadi bisa lebih efektif dan efisien saat tahu cara bekerja yang lebih baik. Akan memangkas waktu kerja kita, memberi kita waktu lebih untuk melakukan hal lain. Bisa sekedar untuk menambah waktu rebahan misalnya. Rebahan kalo pada porsi yang tepat bisa membuat kita lebih produktif loh. Ga selalu rebahan itu berpotensi negatif. Bisa juga waktu lebih tersebut dipakai untuk mengerjakan pekerjaan rumah tangga misalnya, beberes dan sebagainya. Kondisi rumah yang lebih tertata, lagi-lagi bisa membuat semangat baru dan produktifitas juga bertambah. Bisa juga waktunya dipakai untuk mengeskplor hal-hal baru. Mencoba hal baru, belajar hal baru yang ujungnya bisa membuat jadi makin pintar.

Menjadi pintar secara pengetahuan juga menjadi nilai plus buat kita. Ngobrol sama siapa juga jadi lebih nyambung. Orang merasa lebih asyik ngobrol sama kita karena merasa mendapatkan manfaat dari obrolan tersebut. Pintar juga membuat kita ga telmi dan cepat memecahkan masalah. Karena pintar yang tepat itu membuat kita bisa menggunakan tumpukan pengetahuan dan pengalaman yang sudah ada.

Kepintaran lainnya bisa juga dalam hal mengelola orang. Makin banyak anak buah, makin terkelola, makin banyak kerjaan yang bisa beres dengan hasil yang gemilang. Karena anak buah adalah aset yang berharga dan dikelola dengan tepat. Dengan pengelolaan yang tepat, syukur-syukur anak buahnya jadi ikutan makin pintar dan terasah potensi-potensinya.

Sampai di sini, kelihatan lah ya, bahwa menjadi pintar itu asyik untuk diri sendiri dan juga menebar manfaat bagi lebih banyak orang.

Namun menjadi pintar ini juga bisa jadi masalah. Bila jadi, kepintarannya baru di beberapa aspek dan bahkan baru mulai menapak naik menuju level kepintaran yang lebih tinggi. Ilmu yang dimiliki bisa malah jadi masalah baru. Bukan ilmunya yang salah. Bukan jam terbang panjangnya yang salah. Dan tentu bukan pengalamannya yang salah. Tapi bagaimana kita menyikapi kepintaran tersebut.

Masalah bisa terjadi misalnya pada kasus berikut ini:

1) Merasa lebih pintar dari yang lain.
Orang-orang lain dirasa tidak bisa menghasilkan kinerja yang lebih baik darinya. Bahkan masukan dari orang lain dirasa tidak penting. Gawat kalau udah kaya gini. Padahal mungkin benar kita menguasai suatu bidang. Tapi ada bidang-bidang lain yang belum dikuasai, yang mungkin bisa kita dengarkan sudut pandang lain dari orang yang menguasainya.

2) Merasa kepedeean
Bisa juga kita merasa pintar, padahal baru belajar level 3 nya aja, dari sebelumnya berada di level nol. Yang bahkan awalnya gak tau dan ga kepikir untuk belajar pengetahuan tersebut bahkan. Jadi sebenernya emang pengetahuan meningkat, tapi ternyata masih ada level 4, 5 sampai 20 yang belum sempat dipelajari. Lalu merasa percaya diri (pake banget) sehingga langsung aja kerjaaan-kerjaan dikerjakan pakai ilmu di level 3 tersebut. Dan parahnya pada kasus yang ini, merasa paling benerrr dengan cara tersebut. Apalagi kalau pernah mendapat pengakuan dari orang lain dengan cara tersebut. Makin terkonfirmasi dan percaya diri deh dengan cara dan kepintaran yang ada. 

3) Merasa cukup dalam belajar
Ini tipe yang lain. Sempat googling sedikit, belajar dikit, lalu merasa udah sangat paham dengan ilmu tersebut. Lalu ga dipelajari lebih lanjut, ga diulik, ga dipraktekin berulang untuk mendapatkan insightnya. O-ow! Ini juga bahaya. Karena merasa cukup ini adalah awal dari merasa pintar tapi berujung akan jadi yang paling "bodoh". Orang lain yang bahkan belajar suatu hal lebih belakangan tapi kemudian dia mempelajarinya lebih lanjut, bisa banget nyusul dan menghasilkan karya nyata yang lebih hebat.

 4) Merasa berpengalaman
Pengalaman juga termasuk harta kekayaan. Tentu bila dikelola dengan tepat. Kalau memang pengalaman tersebut direfleksikan dengan tepat sehingga akhirnya melahirkan samudera pengalaman yang lebih dalam lagi sehingga menghasilkan manfaat yang lebih besar. Namun kalau merasa berpengalaman itu malah menggiring kita masuk pada tipe 1, 2 dan 3 maka celakalah!

Begitulah refleksi pagi yang dipantik dari obrolan sore kemarin dengan seorang teman. Dan juga yang terpenting, bisa menampar diri saya juga untuk menjadi makin pintar namun bisa mengggunakan dan mengelola kepintaran tersebut dengan tepat. Sehingga saya makin bahagia, orang-orang di sekitar juga bisa mendapatkan manfaat yang lebih besar dari keberadaan saya.