Saturday, 18 February 2017

Serunya Sesuatu yang Berlabel Pertama

Banyak hal seru yang terjadi saat melakukan sesuatu pertama kalinya. Dalam tempo waktu seminggu, saya pertama kali mencoba jadi fasilitator untuk sebuah materi baru pada lembaga yang baru juga. Hanya ada 1 kata: SERU. Apalagi ditambah waktu persiapan yang minim. Rasa canggung karena merasa kurang siap secara materi, belum hafal betul poin-poin apa yang perlu ditekankan, ujug-ujug peserta yang datang juga banyak, ditambah bonus beribetnya tampilan teknis di layar, membuat adrenalin meningkat saat pertama membawakan materi tersebut.


Fasilitasi pertama | Foto: Labtekindie

Deg-deg-an karena mempertaruhkan waktu yang sudah diinvestasikan oleh para peserta untuk datang sore itu karena tertarik akan isu yang dibawakan. Kesian kan kalo peserta sampai pulang dengan kekecewaan karena fasilitatornya teu baleg dan kurang membantu dalam memahami materi.

Tapi akhirnya cukup lega karena saat pertama itu telah terlalu dan memberikan beberapa catatan penting dalam diri saya, bagian-bagian mana saja yang perlu diperbaiki dan jadi nemu celah-celah sejenis "enaknya bagian ini gimana dibawainnya" dan "enaknya bagian itu gimana biar nyaman buat peserta". Ditambah dengan masukan dari supervisor yang luarrr biasa (saat saya fasilitasi, dia sambil menyimak brief-brief yang saya berikan dan paralel dengan itu, dia memimpin pertemuan juga di ruang sebelah).

Setelah fasilitasi pertama, saya dan supervisor menyempatkan ngobrol sejenak. Saya mendapatkan beberapa poin masukan dan lalu kami berdua membangun bersama strategi fasilitasi selanjutnya. Hasilnya fasilitasi kedua lebih mengalirrrr~  Saya merasa lebih nyaman dan peserta pada kesempatan kedua pun cukup kooperatif sehingga prosesnya seru!

Di fasilitasi kedua, peserta beneran pada bawa anak karena memang genk ibu-ibu

Padahal di pagi hari, sebelum fasilitasi kedua, badan rasanya lemes tak karuan. Memang hari itu menjadi h-1 mens tetapi rasanya makin ga keruan karena campur deg-deg-an karena takut fasilitasi kedua ini kurang sukses (terutama setelah mendengar profil pesertanya yang pada doyan coding. Rasanya udah ciut duluan takut ditanya-tanya berbagai hal terkait teknologi digital dan kawan-kawannya yang memang tak saya pahami). Sudah menyempatkan tidur sejenak sebelum berangkat pun, lemas badan tak hilang juga. Tapi segala rasa tak keruan itu akhirnya hilang begitu beberapa menit memulai fasilitasi dan peserta ternyata ga "menggigit" saya dan rasanya malah nyaman berinteraksi dengan dengan mereka.

Selalu ada saat pertama kita menjalaninya. Dalam segala hal. Rasa tak keruan yang terjadi pun akhirnya berakhir lega kita berhasil mendobraknya. Pokonya derrr weh heula lakukan maka akhirnya hal tersebut malah menumbuhkan keberanian untuk mencobanya kembali dan meningkatkan terus kualitas diri.

Apakah kamu punya pengalaman sejenis dalam menghadapi hal pertama lainnya? Yuk dibagi cerita serunya di kolom komentar :-)



Wednesday, 8 February 2017

Menghidupkan Proses Memaafkan

Salah satu masalah saya yang paling parah adalah kurangnya (gatau ga ada hahah) kemampuan untuk mendeteksi apa yang saya rasakan. Mungkin bisa mendeteksi, tapi kemudian telat menyadari.

Q: Makanan ini enak ga nil?
A: Enak.
Q: Itu enak ga?
A: Enak.

Gitu wehhh, semuanya enak. Antara seneng makan, yang penting kenyang dan penyuka segala kayanya sih.

Sama halnya dengan gini:

Q: Anil sukanya warna apa?
A: Apa aja aku mah. Yang penting fungsinya.

Aslinya gitu pisan.

Termasuk pusing kalo cari baju karena gatau harus milih yg kaya gimana. Padahal dengan duit yang ada, harusnya bisa dimaksimalkan cari baju yg terkece dan termanis.

Anil: Yuk anter beli baju!
Temen: Yuk!

Sampai di TKP

A: aku nunggu di kamar pas ya

Temen ngubek-ngubek nyariin baju yg sekiranya cocok dan bawa 3 potong. Lalu jalan ke kamar pas

T: Nih cobain!
Anil coba baju 1
A: Masuk sini ih. Liat, bagus ga?
T: Hmm lumayan. Cobain dong yang 2 lagi.

Begitu seterusnya. Saking hoream dan ga punya preferensi pilihan.

Sampai datanglah hari malapetaka itu.
Saya punya masalah besar (sebutlah masalah A) sampai stres berat dan sakit. Sakitnya macem-macem, mulai dari sakit telinga, mata, pusing, mata merah, tekanan darah tinggi (sebelumnya tekanan darah rendah wae) sampai diare. Aneka sakit itu datang bersahutan selama sekitar sebulan.

Dan karena sakitnya horor, saya minta ijin ke dokter umum untuk disambil berobatnya ke psikolog juga. Dan diijinkan. Resmilah saya di bulan tersebut saya jadi pasien puskesmas puter dengan langganan dokter umum dan psikolog.

Berbeda dengan dokter umum, konsultasi dengan psikolog hanya 1 kali sesuai jadwal tercantum. Sisanya sesuai kesepakatan melalui wasap.

Beberapa kali datang konsultasi diisi dengan acara tes ini itu untuk mendiagnosa masalah dan kondisi yang sedang terjadi dalam diri saya. Acara tes ini dilakukan oleh mahasiswa S2 yang lagi praktek. Yang berarti bahwa si aa itu teh jam terbangnya masih rendah dalam konsultasi psikologi (wayahna wehhh, namanya jg paket berobat di puskesmas). Pada pertemuan terahir, barulah datang psikolog beneran (supervisor aa-aa mahasiswa S2 tadi) untuk berdialog dengan saya. Sambil pegang kertas-kertas hasil tes saya, si ibu psikolog ngorek-ngorek masalah A saya tersebut.

Setelah sekitar 45 menit berlalu, akhirnya kami bisa sama-sama menemukan masalah yang lebih besar dari masalah A yang saya utarakan dan pikirkan. Dan itu beneran gak saya duga. Buntutnya adalah ada masalah besar B yang bahkan ga saya sadari. Dan itu DIDUGA berpengaruh besar terhadap beberapa keeroran saya belakangan ini.

Jelegerrrrrrrr!

Mau bongkar masalah A tapi kok malah mendeteksi masalah yang lebih besar yaitu masalah B zzzzz. Masalah B begitu terlihat sebenarnya. Namun tak saya sadari.

Psikolog tersebut memberikan beberapa solusi "terapi" yang bisa dilakukan dan  menawarkan konsultasi lebih lanjut di tempat prakteknya. Yang mana artinya saya perlu membayar lebih besar dibanding biaya konsultasi di puskesmas. Kemudian saya iyakan. Namun memang saya masih ragu apakah akan lanjut ataukah tidak berkonsultasi

Singkat kata, saya tidak lanjut berkonsultasi karena merasa cukup terbantu dengan "diperlihatkan" masalah B oleh ibu psikolog tersebut.

Proses panjang selanjutnya yang perlu dilalui adalah proses memaafkan diri saya sendiri karena masalah B tersebut bermuara dari sebuah keputusan yang saya ambil (kayanya tanpa sadar akan konsekuensinya dan  kurangnya kemampuan untuk mendeteksi apa yang saya rasakan)  di masa lalu. Proses tersebut masih berjalan hingga saat ini. Cukup menantang dan perlu dihidupkan terus prosesnya.

Doakan saya berhasil!

Saturday, 4 February 2017

Cerita Sukses vs Cerita Gagal

Dalam melakukan perubahan, proses yang terjadi biasanya begitu seru dan menantang! Hal tersebut terjadi dalam berbagai lini. Termasuk dalam melakukan perubahan gaya hidup yang terkait dengan pengelolaan sampah di rumah.

Saya kembali merasakan serunya saat sedang menjalani tantangan ini. (Sila disimak dan hayu ikutan juga!)


Rasanya nemu kesenangan tersendiri ketika kembali menyadari hal-hal kecil yang telah diupayakan secara konsisten beberapa tahun belakangan ini.

Prosesnya sederhana saja, cukup mendokumentasikan #ceritaSukses kita dalam mengurangi sampah. termasuk #ceritaGagal -nya. Kalau #ceritaSukses, rasanya saya sering tuliskan dalam blog maupun medsos pribadi. Tapi #ceritaGagal justru (baru saya sadari) jarang dituliskan. Padalah katanya kita bisa banyak belajar dari kesalahan. Dan proses mengakui kegagalan, harusnya menjadi salah satu jalan menuju kesuksesan

Contohnya pada kasus pemisahkan sampah organis dan pemanfaatannya. 

Sampah itu sebaiknya (1) dipisahkan dan (2) dimanfaatkan

Katakata itu adalah mantra yang wajib diungkap setiap kali pelatihan Zero Waste Lifestye - nya YPBB dan dalam berbagai kesempatan berkampanye. 

Saya dalam salah satu pelatihan ZWL YPBB - yang mana? cari yang paling muda dong~  (dok YPBB)

Apakah saya beneran menerapkannya dalam keseharian? Jawabannya: YA dan TIDAK! Mengapa?

Jaman tinggal di rumah Cimahi, saya gak ngompos karena sampah sisa makanan di rumah biasanya dimasukkan ke dalam ember khusus. Yang kemudian dijadikan campuran pakan angsa dan ayam.  Apakah itu hasil pemahaman akan pengurangan sampah? Engga wkwkw. Disuruhnya aja gitu sama embah. Dan segitu banyaknya aturan di rumah, semuanya juga dilakukan bukan karena bener-bener sadar. Ya karena HARUS weh. Baru kemudian, setelah saya menggeluti dunia persilatan ini, saya jadi sadar: "Oh, itu artinya, sampah sisa makanan di rumah Cimahi sudah dipisahkan dan dimanfaatkan.

Ketika pindah ke kosan Cikutra, akhirnya saya beli takakura! Setelah bertaun-taun pakai takakura hanya di kantor aja. Dan ini beneran bisa neken jumlah sampah yang harus keluar. Begitupun saat pindah ke kontrakan Ujungberung, takakura ikut dibawa dan sampai hari ini masih digunakan rutin.

Dodol oleh-oleh dari Akang pas ke Drajat dan kulit wortel pas numis kemarin
#ceritaSukses -nya seperti itu. Tapi keukeuh ya, adaaa aja terselip beberapa #ceritaGagal di dalam proses tersebut. Kulit wortel dll sih aman dong masuk takakura. Tapi kulit/daun yang keras (seperti kulit dodol kacang merah dkk)/tulang yang lebih keras, masi PR banget. Harusnya takakura dikombinasi sama biopori/lubang di halaman. Yatapi halamannya ditembok semua pakbuk~

Jadi, terbuka peluang lebar bagi teman-teman, ibukbapak sodarasodari yang mau kasi kado pernikahan berupa rumah berhalaman luas dan bertanah :)

----

beberapa #ceritaSukses dan #ceritaGagal akan diposting rutin di instagram saya di rentang 1-14 Februari untuk menjawab #TantanganWarga #SuatuHariTanpaSampah dari @rujakrcus