Salah satu masalah saya yang paling parah adalah kurangnya (gatau ga ada hahah) kemampuan untuk mendeteksi apa yang saya rasakan. Mungkin bisa mendeteksi, tapi kemudian telat menyadari.
Q: Makanan ini enak ga nil?
A: Enak.
Q: Itu enak ga?
A: Enak.
Gitu wehhh, semuanya enak. Antara seneng makan, yang penting kenyang dan penyuka segala kayanya sih.
Sama halnya dengan gini:
Q: Anil sukanya warna apa?
A: Apa aja aku mah. Yang penting fungsinya.
Aslinya gitu pisan.
Termasuk pusing kalo cari baju karena gatau harus milih yg kaya gimana. Padahal dengan duit yang ada, harusnya bisa dimaksimalkan cari baju yg terkece dan termanis.
Anil: Yuk anter beli baju!
Temen: Yuk!
Sampai di TKP
A: aku nunggu di kamar pas ya
Temen ngubek-ngubek nyariin baju yg sekiranya cocok dan bawa 3 potong. Lalu jalan ke kamar pas
T: Nih cobain!
Anil coba baju 1
A: Masuk sini ih. Liat, bagus ga?
T: Hmm lumayan. Cobain dong yang 2 lagi.
Begitu seterusnya. Saking hoream dan ga punya preferensi pilihan.
Sampai datanglah hari malapetaka itu.
Saya punya masalah besar (sebutlah masalah A) sampai stres berat dan sakit. Sakitnya macem-macem, mulai dari sakit telinga, mata, pusing, mata merah, tekanan darah tinggi (sebelumnya tekanan darah rendah wae) sampai diare. Aneka sakit itu datang bersahutan selama sekitar sebulan.
Dan karena sakitnya horor, saya minta ijin ke dokter umum untuk disambil berobatnya ke psikolog juga. Dan diijinkan. Resmilah saya di bulan tersebut saya jadi pasien puskesmas puter dengan langganan dokter umum dan psikolog.
Berbeda dengan dokter umum, konsultasi dengan psikolog hanya 1 kali sesuai jadwal tercantum. Sisanya sesuai kesepakatan melalui wasap.
Beberapa kali datang konsultasi diisi dengan acara tes ini itu untuk mendiagnosa masalah dan kondisi yang sedang terjadi dalam diri saya. Acara tes ini dilakukan oleh mahasiswa S2 yang lagi praktek. Yang berarti bahwa si aa itu teh jam terbangnya masih rendah dalam konsultasi psikologi (wayahna wehhh, namanya jg paket berobat di puskesmas). Pada pertemuan terahir, barulah datang psikolog beneran (supervisor aa-aa mahasiswa S2 tadi) untuk berdialog dengan saya. Sambil pegang kertas-kertas hasil tes saya, si ibu psikolog ngorek-ngorek masalah A saya tersebut.
Setelah sekitar 45 menit berlalu, akhirnya kami bisa sama-sama menemukan masalah yang lebih besar dari masalah A yang saya utarakan dan pikirkan. Dan itu beneran gak saya duga. Buntutnya adalah ada masalah besar B yang bahkan ga saya sadari. Dan itu DIDUGA berpengaruh besar terhadap beberapa keeroran saya belakangan ini.
Jelegerrrrrrrr!
Mau bongkar masalah A tapi kok malah mendeteksi masalah yang lebih besar yaitu masalah B zzzzz. Masalah B begitu terlihat sebenarnya. Namun tak saya sadari.
Psikolog tersebut memberikan beberapa solusi "terapi" yang bisa dilakukan dan menawarkan konsultasi lebih lanjut di tempat prakteknya. Yang mana artinya saya perlu membayar lebih besar dibanding biaya konsultasi di puskesmas. Kemudian saya iyakan. Namun memang saya masih ragu apakah akan lanjut ataukah tidak berkonsultasi
Singkat kata, saya tidak lanjut berkonsultasi karena merasa cukup terbantu dengan "diperlihatkan" masalah B oleh ibu psikolog tersebut.
Proses panjang selanjutnya yang perlu dilalui adalah proses memaafkan diri saya sendiri karena masalah B tersebut bermuara dari sebuah keputusan yang saya ambil (kayanya tanpa sadar akan konsekuensinya dan kurangnya kemampuan untuk mendeteksi apa yang saya rasakan) di masa lalu. Proses tersebut masih berjalan hingga saat ini. Cukup menantang dan perlu dihidupkan terus prosesnya.
Doakan saya berhasil!