Sebagai anak yang terlahir di kota besar, Bandung, rasanya bingung
juga diminta untuk cerita tentang kampung halaman. Lahir di Bandung dan
kemudian banyak menghabiskan masa kecil di Cimahi rasanya tak ada yang aneh.
Yagitu ajasih.
Nah, semenjak menyandang status nyonya alias setelah menikah di akhir tahun lalu, saya otomatis jadi punya kampung halaman baru. Kampung teh beneran
kampung alias lembur. Kampung halaman yang dimaksud adalah tempat tumbuh
kembangnya Akang (suami) yaitu di Sumedang. Jadi, dalam tulisan ini, saya akan
cerita sedikit tentang kampung halamannya Akang yang asyik. Sedikit karena
memang baru 3 kali kesananya juga.
Barijeung saya lupa terus kalo ditanya, "Lemburnya Akang
emang dimana Sumedangnya?" hahaha. Berdasarkan tulisan yang ada di
dokumen-dokumennya Akang, Sumedangnya terletak di Nangkod Tanjungkerta. Itu
daerah yang belum pernah saya kunjungi sebelumnya. Konon, letaknya sekitar 8 KM
dari pusat kota Sumedangnya.
Dulu pertama kali berkunjung ke lembur Akang, ya pas kenalan sama
keluarganya. Begitu memasuki jalan kecil yang kearah Nangkod, kerasa udaranya
berbeda. Lebih segarrrr. Karena sawah masih ada di kanan kiri jalan. Itupun
sudah banyak yang jadi rumah tampaknya. Tapi lumayan banget buat orang-orang
yang udah sehari-harinya menghirup udara berpolusi di kota.
Dan ternyata, ini beneran lembur. Satu gang, semuanya saudara.
Terus pada menyambut dengan hangat. Ya biasalah, pada bilang “eh calon manten” bla
bla. Jadi begitu datang si calon mantennya, langsung burudul orang-orang dari
rumahnya masing-masing (aslinya, gak hiperbola). Terus pada ngajakin ngobrol
dan kenalan. Ini adik, kakak, ua, ibi, ini anaknya itu, ini anaknya ini, ini
ibi yang anaknya di sono dan di sini. Kesimpulannya: lebih banyak nama dan silsilah yang
LUPA daripada ingetnya wkwkkwkw. Ya maklumin aja ya, abisan banyak ketemu orang baru dalam satu waktu.
Sebagian saudara Akang |
Makan apa aja kalau lagi kumpul rasanya enak. Ini pun terjadi di
lembur Akang (padahal saya emang pada dasarnya seneng makan aja kaliya? Wwkwkw)
Makan bareng |
Salah satu peristiwa seru terkait makan-memakan adalah proses
ngobor. Jadi belut diobor dalam waktu sekitar 1 jam. Diobor maksudnya adalah
belutnya diambil di sawah dan yang ngambilnya diterangi oleh lampu supaya
kelihatan. Diambilin gitu dari dalem sawah oleh beberapa orang. Menurut cerita
begitu sih, saya sendiri gak ikut ke sawah pas adegan tersebut. Istilah ngobor
ini diambil dari kata obor karena dulu alat penerangannya menggunakan obor
Sesudahnya saya melihat atraksi proses “mematikan” dan membersihkan
belut berikut ini. Anak kecil aja berani pegang-pegang belut. Ponakan Akang berani pegang belut dan gak takut kotor. Mudah-mudahan, di lembur ini anak-anak yang biophobia (takut sama alam) memang lebih sedikit jumlahnya dibandingkan di kota.
Mengolah belut |
Dan ini belutnya ketika sudah digoreng. Sangat menggoda bukan?
Belut goreng |
Enaknya di lembur adalah masih ada beberapa bahan makanan yang
bisa diambil di alam. Maksudnya, bisa diambil tanpa niat ditanam atau
dipelihara. Contohnya belut tadi. Contoh lain adalah genjer. Ini juga banyak
ada di sawah. Bisa ditumis pakai oncom. Enak pisan! Atau sekedar dileob
(disiram air mendidih) untuk dijadikan lalab. YUMMY :)
Ibi-nya Akang lagi ambilin genjer di sawah |
Opieun atau makanan ringan khas yang disajikan di rumah-rumah berupa
cau (pisang), dan aneka makanan yang terkait dengan ketan seperti opak, ranginang dan ulen. Ini
disajikan terutama kalau ada acara-acara. Beberapa diantara saudara Akang
ada yang masih bisa membuatnya sendiri. Ketahuilah bahwa opak yang paling enak
adalah opak yang dibuat sendiri. Bukan yang hasil produksi masal. Yang tipis-tipis
dan kelihatan bekas bakarannya. NYAM!
Keliatan kan bagian yang item-item tutungnya. Enaks! |
Dan masih ada yang bawa makanan dalam rantang bunga-bunga macem gini :) |
Mari sudahi urusan makanan, karena makin lama ko rasanya makin
laper dan pengen duduk ngariung makan bareng sama keluarga Sumedang.
Kondisi alamnya masih asyik. Jalan ke bawah sedikit, akan ditemui
beberapa balong (kolam) pemancingan. Dulu kayanya itu sawah. Ke arah bawah lagi
dikit, ketemu sungai. Tak jernih-jernih amat, tapi masih ada orang yang masih terlihat memanfaatkannya untuk mencuci baju dan piring. Sudah tidak banyak karena saluran air sudah mulai masuk ke rumah-rumah.
Sungai |
Ibi-nya Akang yang sedang cuci piring di saluran irigasi |
Yang pasti masih bisa dipakai main air. Segerrrr
Sawah juga sangat dekat dengan rumah. Tinggal turun dikit dan
terhamparlah sawah.
Sawah masih banyak lagi di area atas. Cukup lewati jembatan dan akan kelihatan sawah yang terhampar luas.
Pas kunjungan ke lembur bulan
ini, saya ikut jalan ke sawah anterin makanan buat kakak-kakaknya akang
yang lagi pada kerja di sawah. Saya padahal baru makan di rumah, tapi ujungnya makan lagi di pinggir sawah. Asalnya jaim tea gamau, tapi dibibita wae. Akhirnya luluh~
Ahahhaha, udah pindah tema sawah, berujung
sama ke urusan makan-memakan lagi. Makan terosssss~
Genk #makanDiSawah : aa, dan ipar-iparnya Akang |
Dengan kondisi alam yang ada, pojok selfie dan wefie bisa banget ditemukan di berbagai sisi~
Foto berdua sama Akang. Gatau itu belakangnya naon. Kalo gasalah, kita waktu itu duduk di jembatan kecil |
Saya dan ponakan: maksud hati hanya foto berdua, taunya dapet bonus ayam heheh |
Begitulah kurang lebih kehidupan di lembur Akang (dan jadi lembur saya juga). Suasana asyik dan hangat ini mudah-mudahan bisa berjalan seterusnya. Dan Nangkod Sumedang bisa menjadi salah satu pilihan tempat untuk menjalani hari tua kelak.
dibuat untuk memenuhi tantangan tema #1minggu1cerita
Ihiy...selamat sekali lagi Teh Anil :)
ReplyDeleteKangen pisan suasana lembur kayak gitu..apalagi eta..genjer pake oncom!! -Tatat
Nuhuns.
DeleteGenjer bener lah ngeunah pisannn. Mari pulang kampung teh Tatat!
Kampungnya asyik teh, tapi aku mah gak suka belut. Kampung yg ada sungainya... Selalu asyik. Aku juga pengen babaseuhan di sungai, paling ka cibodas (dan itu mah bukan kampung) :D
ReplyDeleteIya. Ini tinggal salengkah menuju sungai, chika :-)
DeleteMakan-makan terus ini maaah...
ReplyDeleteKalau ke sana Teh Anil harus bawa lambung cadangan deh
Hahaha. Di kota atopun lembur, kutetap tukang makan utii~
DeleteTeh itu goreng belutnya meuni menggiurkan, klo beli di Sup*rind* mah berapaeun ya teh? *itungan
ReplyDeleteNah, untungnya ini masi gratis. Asal mau ngambil heheh
ReplyDeleteSeruuu kampoongnyaaa... Makaaan terooos tapinyaa ihihi
ReplyDeleteMarii menikmati hidup dengan makaaan 😘
hahaha. enya
Deletemun di sana terus, jigana (makin) ngagendutan