Sunday 18 February 2018

Emang Kalau Cina Kenapa?

Katanya sekarang ga boleh lagi sebut Cina tapi lebih baik Tionghoa. Buat saya sih, urusan istilah yaaa mungkin penting tapi yang lebih penting lagi memperbaiki sudut pandang dalam pikiran kita tentang hal tersebut.






Dari kecil saya disekolahkan di sekolah negeri dan lebih sering jadi golongan mayoritas. Dari aspek agama maupun suku. Minoritas? Apaan tuh? Tak terbayangkan rasanya seperti apa apa. Termasuk dulu belum musim ada sekian kursi bagi anak-anak yang "berbeda". Berbeda dalam arti ada cacat dibanding temen-temennya. Disabilitas kalau istilah yang sekarang sering digunakan. Jadi ya ga kebayang aja gimana sebaiknya memperlakukan perbedaan-perbedaan yang ada. 

Seinget saya, dulu begitu ada sesuatu yang beda aja dikit, biasanya malah suka jadi bahan bulan-bulanan dan ejekan. Dulu kayanya belum jaman juga istilah bully. Ya ledekan aja kita kenalnya. Masa guru yg pincang aja dikatain. Kalau ga suka sama satu aspek di seorang guru, harusnya bukan pincangnya dong yang dibawa-bawa. 

Nahhh, berkaitan dengan imlek-imlekan kemarin, jadi kepikir pengen nonton film dengan tema perbedaan tersebut khususnya ras yang beda yaitu Cina. 

Maka nontonlah film Cek Toko Sebelah dan Ngenest. Di film Cek Toko Sebelah muncul isu tersebut. Mulai dari anggapan mainstream bahwa anak-anak dari orang Cina perlu nerusin usaha orang tuanya sampai ketidaksetujuan orangtua kalau anaknya nikah dengan orang Melayu. Bukan ga setuju sih, tapi ya masi keuheul weh jadi tak merestui walaupun udah bertahun-tahun menikah. Sedikit catatan, saya sedikit terganggu dengan beberapa bodoran di film ini yang rada garing. Sisanya ya enjoy ajeee! Namanya juga hiburan.

Nah tapi ga semua orang Cina begitu sih. Beberapa tahun ini mengenal temen-temen yg Cina malah gada yg nerusin usaha orangtuanya hehee. Mungkin temen-temenku ini emang pencilan kanan dan kiri dan lebih memilih jadi "aktivis" dan mencoba memaknai hidup. Atau ada juga yang orangtuanya bukan berprofesi sebagai pedagang. Makanya masih penasaran pengen nonton film lainnya. 

Maka di film yang satunya yaitu Ngenest, rupanya pesannya lebih kuat. Trauma karena sering jadi bahan bully-an temen-temennya sampai-sampai bikin niat pisan pengen punya anak yang lebih blotot. Kenapa? Biar ga jadi sasaran bully temen-temennya kelak. Mulia sih cita-citanya tapi ironis. Karena justru menggambarkan bahwa masih ada tuh proses gencet-gencetan di dunia nyata. Film biasanya diangkat dari kehidupan nyata kan? Saya aja baru nyadar bahwa perbedaan itu tak masalah dan orang yang berbeda itu tetap bisa hidup normal berdampingan, baru pas masa kuliah. Kamana wae nilll? 

Dan makin merasa bahwa berbagai stereotipe itu justru bikin masalah setelah ahirnya mulai berkegiatan bersama dan temenan dengan segala lintas. Mulai dari lintas agama, lintas kudu dan ras, bahkan lintas pemahaman dan gaya hidup. Termasuk berteman dengan beberapa orang yang ber-ras Cina.

Semua perlu disikapi biasa ajasehhhhh. Biar damai, carilah hal-hal yang seru buat dilakukan bersama. Hal-hal lain yang beda, bisa dianggap bumbu atau biarlah jadi urusan masing-masing. Hal ini bukan hanya berlaku untuk orang-orang yg jelas-jelas kelihatan berbeda sama kita. Tapi dalam lingkup yang homogen pun, kayanya cara pandang ini cukup seru untuk diterapkan. Biar apa? Ya biar produktif, hidup bermanfaat, seru dan damai weh~

No comments:

Post a Comment