Pas denger kata "gegar budaya" saya langsung kebayangnya cerita-cerita orang yang tinggal di luar negeri lalu pada bersusah payah beradaptasi di berbagai aspek kehidupan. Seru kalo baca cerita-cerita kaya gitu karena seneng aja menyimak kehidupan orang lain yang ga "biasa-biasa" aja.
Etapi akhirnya saya mengalami gegar budaya juga sejak gabung ke keluarga akang. Lupa lagi deh tepatnya karena udah 3 tahun lebih lah prosesnya. Tapi yang saya inget banget di akhir pekan kemaren adalah kebiasaan mereka (terutama yang cewe-cewe) pas ngobrol teh suka keras-keras dan kaya papacok-pacok kalo ayam mah. Saya di tengah mereka udah tak ada apa-apanya. Padahal biasanya di lingkar teman-temen kerja biasanya saya relatif yang paling brisik. Akhirnya saya suka menyimak aja pembicaraan mereka dan lama-lama terbiasa denger suara orang ngobrol yang keras-keras saat ke rumah Sumedang.
Di akhir pekan kemarin, akhirnya saya melihat mereka yang gegar budaya (RASAKAN!). Ceritanya begini, kan ada ponakan yang mau nikah. Calon istrinya itu anak pejabat di salah satu instansi pemerintah dan bapaknya itu salah satu bagian dari satgas Covid di kota tersebut. Terus, layaknya nikahan jaman sekarang, diadakan di gedung (karena rumah kan kecil-kecil jaman sekarang, gakan bisa dipake hajatan) dan pakai WO (biar ga pala pusing ngurus perintilannya).
Nah, budaya ini berkebalikan sama budaya sodara-sodaranya akang. Mereka biasa hajat dengan "budaya lembur" yang saya masih ga kuattt kalo dateng ke nikahan kaya gitu. Yang kebayang teh, musik selalu keras-keras, trus ada budaya joget yang pake sawer-sawer dan ga cuma bapabapak, ibuibu juga pada joged bahkan ada sesi malam. Belum lagi masak-masak tuh gada istilah katering. Biasanya ada pemimpin masaknya, yang bantu-bantu itu sodara dan pasti gakan merasa enak kalo ga ambil posisi dalam adegan saksak-siksik. Bela-belain begadanggg itu teh.
Sabtu kemaren itu lalu perwakilan keluarga diajak untuk pertemuan dengan WO. Saya ga dicantum sebagai panitia maka yaudah tinggal dateng aja hari H, beres pan. Akang sih jadi bagian dari panitia. Saat udah santai-santai aja gosah ikutan briefing, etaunya dijemput sama ponakan itu teh. Yaudah berangkat deh.
Sampai di TKP, saya dengarkan dengan serius si acaranya, biar jelas kan sebenernya apa yang perlu dilakukan sehingga dapat mendukung kegiatan tersebut dengan maksimal. Ribet juga sih ternyata hajat di saat pandemi gini. Aturannya banyak pisan~ Apalagi ini saksinya aja bupati. HEEEBOOHH.
Dan seperti layaknya saat hadir di acara-acara briefing, kalau ada hal yang tidak jelas, ya saya tanyakan. Termasuk saya juga memberikan saran supaya sebelum hari H, pihak keluarga dikirimi poster aturan segambreng tersebut supaya undangan yang hadir dari keluarga ga shock atau merasa tidak dilayani dengan baik atau malah melakukan hal-hal yang tidak mendukung acara. Gimana weh ikutan briefing mah ya gitu saya biasanya. Daripada ga paham, mending tanya. Daripada dipikir-pikir doang, mending usul. Walo dipikir-pikir lagi sekarang ya, keluarga cewe aja pada adem ayem, napa saya riweuh sendiri ya tatanya wkkw.
Lalu saya larak-lirik kiri-kanan dan akang + sodara-sodaranya tampak pada termenung dan diperkirakan ekspresinya menunjukkan ketidakpahaman atau mreka GEGAR BUDAYA! Biasa nu penting joged, tiba-tiba banyak aturan gini. Jadi di akhir acara akhirnya saya mendekati pihak WO dan meminta si WO merinci kembali aturan mainnya. Saya jelaskan bahwa kondisi keluarga cowo ini bukan yang biasa dateng ke nikahan di gedung, apalagi di saat pandemi. Maka penting buat saya dan keluarga inti lainnya untuk bantu komunikasikan aturan main tersebut ke pihak keluarga lainnya. Biar semua akhirnya merasa nyaman dengan kondisi yang ada.
Pas pulang, saya coba cek ke akang dan sodara-sodaranya, ternyata bener mereka teh lieur dengerin begitu banyak aturan dan bahasa-bahasa yang digunakan juga kurang bisa dipahami. Sebagai gambaran, tim WOnya generasi muda dan "orang kota" jadi pake bahasanya juga ya bahasa-bahasa orang kota tea geuning. Ditambah lagi ada budaya-budaya yang ga dipake di hajatan lembur semacem braidsmad. "Naon eta teh?" wkkw. Ya semacem-semacem itu lah komentarnya.
Dan yang asalnya pada membisu saat briefing, tibatiba pada recok lagi papacok-pacok dan sibuk lah mereka mendata dan mempertimbangkan siapa yang bisa datang saat akad, siapa yang baru bisa datang ketika resepsi, siapa yang diundang ketika pengajian. Perlu banyak pertimbangan sehingga akhirnya protokol covid di gedung tetap bisa terpenuhi dan relasi dengan teman, saudara, tetangga dan kerabat lainnya tetep terjaga.
Gustii, meni recokkkk
No comments:
Post a Comment