Dari obrolan di grup whatsApp alumni SMP sekitar dua minggu yang lalu, saya menemukan cerita menarik terkait kemasan makanan di
Portugal. Dalam tulisan ini, saya berkolaborasi dengan Rizki alias Cimot sebagai narasumber. Lebih tepatnya: saya merapikan celotehan di grup tersebut ditambah dengan hasil wawancara dengan Cimot.
Cimot adalah teman se-SMP yang saat ini sedang bekerja di perusahaan multinasional di Portugal. Perusahaan ini yang terletak di Setubal, Portugal. Cimot tinggal di sebuah apartemen di pusat
kota Setubal. Kota ini terletak di 60 km sebelah selatan ibukota Lisbon.
Dimanakah Portugal itu? Untuk mengingatnya, mari kita lihat di peta berikut.
Tukang makanan di daerah Cimot tinggal bertebaran dan
tersedia untuk setiap waktu makan. Pagi, siang ataupun malam selalu ada.
Tapi Cimot lebih memilih sering masak karena masak adalah salah satu hobinya.
Masak juga katanya bisa lebih murah dan menekan pengeluaran, Dan yang
terpenting adalah: dengan masak sendiri, bisa memastikan kehalalannya.
Maklumlah, di Portugal Islam hanya dianut oleh sekitar 0,47% penduduk saja.
Dengan penganut Islam yang minoritas
tersebut, tentunya tidaklah mudah untuk menemukan makanan dengan stamp halal. Namun
bukan berarti tidak ada. Portugal sendiri memiliki badan sertifikasi halal yang
bernama Instituto Halal de Portugal. Badan ini memberikan sertifikasi halal
terhadap produk-produk lokal. Di supermarket ada tersedia daging sapi, dan
daging unggas ( ayam atau kalkun ) dengan stamp halal dari Instituto Halal de
Portugal.
Terkait masak-memasak, Cimot menceritakan pengalamannya ketika berbelanja untuk memasak baso. Letak pasar cukup dekat dan bisa ditempuh
dengan berjalan kaki sekitar 5 menit. Terkait jalan kaki, walaupun hampir semua warga Portugal memiliki mobil, masih banyak yang suka
berjalan kaki untuk keperluan yang jaraknya dekat, atau menggunakan alat
transportasi umum. Kondisi ini terjadi kemungkinan karena harga BBM sangat mahal ( sekitar 1.7-1.9€
) belum lagi tarif parkir yang bisa mencapai hampir 1€ per jam.
Jarak pasar yang relatif dekat ini, sebenarnya 11-12 dengan jarak rumah saya ke pasar terdekat. Tapi isi dalam pasarnya beda banget hehehe.
Kalau lihat dari gambarnya tampak bersih. Keren!
Bagian depan pasar |
Cewe rambut panjang ini tukang buahnya. Keren pan? *ceuk Cimot kurang lebih gitu heheheeh* |
Kondisi di lapak ikan yang tampak bersih dan enakeun |
Ikan-ikan yang pikabitaeun |
Kondisi di lapak tukang daging |
Teman-teman di grup langsung memberikan pandangan
positif terhadap pasar yang diceritakan. Kebanyakan mereka menyoroti aspek
kebersihan dan kenyamanan pasar yang bila dibandingkan dengan pasar di
Bandung dan sekitarnya, bagaikan bumi dan langit alias beda banget!
Ada 1 gambar yang kemudian membuat saya penasaran.
Amati baik-baik gambar di bawah ini dan coba hitung berapa orang yang bawa tas
kain sendiri.
Beberapa orang tampak membawa tas kain kan ya?
Nah, dari gambar tersebut saya coba tanya ke
Cimot.Ternyata, di Portugal, membawa tas kain atau kemasan makanan adalah
sebuah "keharusan". Contohnya ketika beli sayur, karena agak basah dan
perlu pakai keresek, maka Cimot bawa tas kresek sendiri. Reuse dari kresek yang
sudah ada.
Pamer dulu baso made in Cimot. Nyam! |
Mengapa membawa tas kain atau kemasan makanan adalah sebuah "keharusan"? Karena keresek di sana
tidak ada yang gratisan tapi perlu dibeli seharga 10 sen - 50 sen atau dengan kurs 1€ = 14.000 rupiah, maka harga tas kresek di Portugal sekitar 1.400 hingga 7.000.
Lumayan nguras dompet kan ya? Bayangkan, berapa uang yang perlu dikeluarkan bila dalam sekali belanja digunakan 5 keresek baru! 5 keresek itu seperti kalau kita belanja di mini/supermarket di Bandung! Sabun dipisah, telur pisah, makanan kotakan dipisah, sayur dipisah, semua dipisah. Belum lagi pembeli di Bandung beberapa rewel ingin mendobel kresek belanjaannya.
Mengapa harga kresek
di Portugal mahal? Salah satu teman Cimot, mengatakan bahwa harga kresek di Portugal sangat mahal karena
harganya tidak hanya mencakup harga kresek, tetapi juga ditambahkan untuk retribusi pengolahan
limbah plastik.
Gambaran prosesnya, bahan
makanan akan ditimbang di timbangan elektronik sehingga hasilnya lebih akurat.
Sepanjang pengalaman Cimot, dia tidak pernah menemukan timbangan analog di toko
kecil (semacam warung) sekalipun. Di Portugal juga ada undang undang yang
mengatur bahwa pedagang wajib menginformasikan harga barang per satuan ( €/kilo
atau €/liter ) kepada konsumen.
Setiap selesai transaksi di pasar,
pedagang hanya akan memberikan barangnya saja. Tidak ada penjual yang otomatis
memberikan kresek. Kalau mau kresek, ya harus beli. Itupun tidak
semua pedagang menjual tas kresek ini. Kondisi yang sudah umum ini pada
akhirnya membuat para pembeli mau tidak mau perlu membawa tas/keresek sendiri.
Contohnya seperti Cimot yang membawa perangkat tas selendang dan kreseknya saat
akan membeli sayur di pasar.
Ini gambaran kondisi di luar sana yang membuat
warganya (yang sudah sadar/belum terhadap kelestarian lingkungan) mau tidak mau
akan ikut berusaha mengurangi penggunaan kresek dari awal. Sistem membuat
mereka menjadi seperti itu.
Terkait kebiasaan mengurangi sampah
kemasan dari awal, rupanya tidak hanya terjadi pada kresek saja. Tetapi ini
terjadi juga pada kebiasaan membawa misting saat akan membeli makanan. Namun hal ini tidak umum
dilakukan, karena biasanya penjual menyediakan kemasan makanan khusus untuk
take away.
Cerita dari Pasar Portugal ini, sedikit banyak memberikan gambaran pada kita bahwa pengurangan sampah dalam upaya pemulihan kondisi lingkungan adalah sesuatu yang NYATA dan BISA DILAKUKAN selama ada niat yang cukup kuat untuk menjalankannya. Dalam hal ini ada 2 aspek yang berperan yaitu aspek peraturan (yang dijalankan) dan juga kesadaran warganya.
Setelah mampir sejenak ke Pasar di Portugal, yuk kita balik lagi ke Bandung.....
Kota Bandung belum memiliki aturan (yang dijalankan) seperti di Portugal dalam hal penggunaan kemasan kresek dan kemasan lainnya. Sebenarnya secara umum UU no 18 tahun 2008 sudah mencakup upaya pengurangan kemasan plastik (dan kemasan berbahaya lainnya) dari awal. Namun tampaknya di Indonesia perlu perjalanan yang panjang untuk merincikannya ke dalam peraturan-peraturan yang lebih teknis di daerah dan juga upaya yang panjang untuk membangun kesadaran warganya.
Namun jangan putus asa! Mari kita berproses sesuai porsi masing-masing. Secara individu kita dapat melakukannya. Karena kalau hanya mengandalkan urusan kebijakan beres di Indonesia, bisa lama (pisan) prosesnya. Mari kita lakukan dengan prinsip 3M-nya Aa Gym tea: mulai dari yang terkecil, mulai dari diri sendiri dan mulai dari sekarang. Contoh paling
gampang, saya terbiasa membawa zero waste kit (seperti misting, tas kain dan tumbler). Dan saya lihat, aktivitas
pencegahan sampah dari awal itupun mulai dilakukan oleh segelintir warga Bandung.
Proses penyadaran bagi masyarakat dan advokasi kebijakan perlu berjalan bersamaan.
Keduanya perlu waktu dan proses. Beberapa organisasi lingkungan di bandung dan
juga banyak elemen masyarakat lainnya sekarang memulai upaya kampanye di 2
aspek tersebut. Ada yang bergerak di aspek kebijakan dengan membuat petisi seperti yang dilakukan oleh GIDKP. Mereka memperjuangkan peraturan yang bertujuan untuk mengurangi dan mencegah dipakai kantong plastik dengan cara stop memberikan kantong plastik gratis. Silakan bisa diintip dan didukung di sini. Edukasi terhadap pengurangan sampah dari awal pun menjadi fokus kampanye yang sedang dilakukan oleh YPBB (tempat saya beraktifitas beberapa tahun ini). Beberapa tahun terakhir ini, YPBB pun mulai memasuki aspek
kampanye kebijakan seperti terlibat dalam penyusunan masterplan persampahan kota Bandung dll.
Demikian cerita hari ini :) Punya cerita keberhasilan
dalam pengelolaan sampah kota? Yuk berbagi juga cerita anda!
Sumber foto: koleksi pribadi Cimot (kecuali foto peta)
No comments:
Post a Comment