Monday 21 July 2014

Baju dari Ganja, Microbeads, Toiletries Home Made!

Di minggu-minggu kemarin si YPBB lagi kampanye #kurangiPlastik. Kegiatan yang dilakukan mulai dari ganti logo babarengan. Nuhun cicijes atas logonya yang "imut"


Ada variasi tema yang dilempar tiap harinya. Idenya diambil dari mindmap keren ini! 


Lalu dipililah beberapa tema seperti: AMDK, sedotan, kemasan aseptik (tetrapak dkk), budaya buat snack dan masakan sendiri, budaya bekal, budaya kemasan dalam berbelanja (termasuk isu hits kantong kresek), kebiasan membawa #zeroWaste kit saat bepergian, membuat toiletries dan pembersih sendiri, tempat jualan yang zero waste, budaya menanam tanaman pangan, tajil #zeroWaste dan baju dari bahan alami.

Tema tersebut dikemas dalam beberapa bentuk seperti: kultwit, wawancara, kegiatan langsung (praktek membawa tajil #zeroWaste dan postingan poster/gambar/artikel harian di Facebook atau Twitter. 

Banyak pengalaman seru pas ngurusin kampanye ini. Yang pastinya saya bisa dapet fasilitas aprak-aprakan saat cari bahan untuk kampanye ini. Mengingat spektrum dari kampanye ini luas, jadi ada beberapa lintasan pikiran dan sedikit refleksinya.  Saya di-ngeuh-kan kembali pada relasi kebiasaan masak dengan mengurangi plastik (ehm!) dan juga menanam. Masih PR banget deh 2 kebiasaan ini. 

Terus juga emang miris sih terkait penggunaan toiletries yang kemasannya jarang yang pake kaca atawa logam-logaman yang minimal bisa didaur ulang dengan cukup efisien. Yang ada plastik-tik-tik. 

Lihat nih ya, saya bukan cewe centil yang banyak pake ini itu, tapi tetep aja kalo masih pakai produk mainstream (walaupun udah beli dalam kemasan besar), jadinya sekali setor ke pemulung teh tetep segunung begini. 


Dari awal dibikinnya, udah bikin masalah si plastik ini teh, pas didaur ulang oge tetep bikin masalah. 

Sempat ada obrolan seru tentang microbeads alias plastik-plastik yang ada di dalam (dalam loh ya, bukan di kemasannya) scub aneka toiletries. Eta kebayang kararecil pisan berarti plastiknya. Masuk ke perairan dan mencemari pleus kemungkinan besar ketelen sana sini dan ujungnya bisa balik lagi dampaknya buat manusia. PR deui wae untuk mulai belajar bikin toiletries sendiri.  




Sama satu lagi yang menarik! Ada baju dari GANJA!Mari nanem ganja di Soreanggggg :) 
Kela, jangan salah paham dulu yah. 

Jadinya si pakaian teh kan sekarang banyaknya polyester atawa minimal katun bercampur poliester. 
Sok cek geura baju masing-masing. Lihat di labelnya, berapa persen cotton nya dan berapa persen polyesternya. 

Jadi yang lebih mending: balik lagi ke bahan yang 100% katun. Balik lagi ke bahan yang berasal dari hewan atau tumbuhan. 


Yang ideal pasti nanem pohon kapas sendiri tanpa pestisida dan bikin baju sendiri. Karena menurut hasil babacaan ternyata: "hanya 2,5% lahan pertanian di dunia yang membudidayakan tanaman ini namun kebutuhan insektisida untuk tanaman ini mencapai 16% dari seluruh kebutuhan insektisida dunia. Nah, gelo pan! 

Terus dari yang pernah didenger, katanya si tumbuhan kapas ini banyak menghabiskan air pula. Jadi, pakai katun 100% OK, tapi apalagikah yang lebih mending? 

Serat-serat lain bisa dijadikan alternatif. Dari mulai wool. Wool yang dari domba tentunya, bukan yang sintetik yang (lagi-lagi bahannya) plastik. Kesian oge sih dombanya, tapi masih mending daripada pakai plastik. Kabayang nya dari yang ararimut ini. 


Dan bisa juga dari tumbuhan yang lebih hemat air dan cepat tumbuh sepertiiiii bambu


Cowo ini pakai baju yang berbahan 70% bambu dan 30% katun. 

Baju bisa dibuat dari tumbuhan ini. 



Yes, ini adalah hemp alias Ganja. Dulu sempat coba megang-megang bajunya David yang terbuat dari hemp. Ya kaya baju biasa aja sih. Nanti mau nanya ah, apakah baju tersebut masih disimpan atau udah pindah derajat jadi lap bersih-bersih. 

Bentuk kain dari hemp, yang seperti kain pada umumnya aja. Hasil googling didapet ini salah satunya. 



Tapi yang paling penting mah, bahannya dari lingkungan terdekat. Percuma oge dari hemp tapi didapetnya dari luar negeri yang perlu banyak emisi karbon untuk ngangkut ke Indonesianya. Akhirnya kita perlu balik lagi hitung jejak ekologis total dari suatu benda. 

Begitulah sebagian lintasan pikirin yang mondar-mandir di kepala 2 minggu kemarin. Masih ada kesan-kesan seru pleus berfungsi sebagai pereminder juga. Nanti kapan-kapan dilanjut lagi ceritanya. 

Jadi, mari kita #kurangiPlastik dari segala macam penjuru dan atau istilah yang lebih pas nya lagi mah mari kita #detoxPlastik ! Udah terlalu berat beban bumi ini dalam menanggung segala jenis dampak negatif dari plastik. 



Saturday 12 July 2014

Dukun Lampu!

Di sekitar kita banyak ide, inovasi dan pembaharuan.  Dari pengalaman selama ini, perlu waktu dan proses tertentu sampai akhirnya “telur” ide itu menetas dan mewujud.

Dukun Lampu!

Itu salah satu ide yang sempat saya dengar dari beberapa orang. Cuma biasanya hanya berakhir dengan "oh", “wah keren” atau “ada di mana tuh?” Barijeung belum berwujud menjadi sebuah aksi.  Kata dukun yang dimaksud, bukanlah hal yang terkait dengan mistik ataupun aliran kepercayaan yang aneh-aneh, apalagi harus sampai dipuasain dan disesajenin macem-macem. Tapi dukun ini diartikan sebagai orang yang ahli bisa mengubah lampu yang rusak menjadi bisa dipakai kembali.

Ide dukun lampu ini, saya dengar (kembali) ketika kemarin diskusi di acara #barterTajil di acara Markinon. Film Story of Stuff sudah berkali-kali saya tonton. Film Story of Elektronik dan How the West Dump Electronic Waste in Africa and India juga sudah pernah saya tonton. Cerita tentang perjalanan material di alam, mulai dari ekstraksi, produksi, penjualan sampai ke tahap pembuangan. Termasuk dampak-dampak negatif yang timbul di setiap tahapan. Tetapi, bagian yang paling seru dan menimbulkan “lampu” di kepala saya nyala setiap kali beres nonton adalah saat diskusinya. Paling sebel kalau nonton film bareng dan diskusinya “disetir” oleh moderator (apalagi pemateri yang ngabulatuk dan menghancurkan ide-ide seru yang muncul di kepala)! Apalagi kalau udah nonton tak ada diskusi dan bubar jalan. Karena biasanya bagian diskusi itulah yang bisa memunculkan telur-telur ide dan meyakinkan (kembali) hal-hal yang sudah pernah diyakini dan bahkan bisa sampai ke tahapan mendorong supaya “telur” ide menetas secepatnya dalam kenyataan.

Nah, si ide dukun lampu kemarin dicetuskan kembali oleh teh Tiwi. Jadi idenya adalah, ada dukun lampu yang mau menerima lampu rusak. Saya lupa apakah si lampu itu dibeli ataukah tidak oleh si dukun. Tapi yang pasti, kita bisa membeli lampu “second” yang sudah dioprek oleh si dukun. Si dukun biasanya orang yang hobi ngoprek dan atau sudah mendapatkan pelatihan reparasi lampu. Harga beli lampu sudah pasti di bawah harga lampu baru. Menurut keterangan teh tiwi, lampu yang merk Philips bisa didapatkan dengan hanya 20 ribu. Belum saya cek juga sih, 20 ribu itu untuk yang berapa watt. Tapi sekelas Philips, dengan watt terendah pun harga barunya lebih dari 20 ribu. Jadi si dukun ini bisa menghemat uang kita, membereskan lampu-lampu yang selama ini numpuk percuma di rumah dan kita gak perlu ambil bahan mentah baru lagi dari alam. Pasti ada bagian-bagian kecil tertentu yang perlu diganti dan si dukun beli baru, tapi tak kan sebanyak kalau beli lampu baru.

Nah, dengan adanya toko organis di kantor, ruang yang agak luas di kantor, media sosial dan juga “fans” YPBB selama ini, harusnya ide ini sangat realistis untuk dicoba. Jadi ada drop box yang menampung lampu-lampu rusak yang bisa diisi oleh siapapun yang mampir dengan sengaja ataupun untuk kepentingan lain ke kantor. Lalu setelah jumlahnya agak banyakan, lampu tersebut bisa dibawa ke dukun lampu. Dan pada saat yang sama, toko organis bisa borong lampu yang sudah diperbaiki dan disimpan kembali di toko supaya ada akses lampu second bagi siapapun yang membutuhkan. Itu peranan pertama dari toko organis untuk memaksimalkan fungsi dukun lampu.

Ide lain dari David mengakhiri diskusi kemari sore tentang tawaran fasilitas CSR pelatihan dukun lampu dari Ancol. Dan hasil obrol-obrol kemarin menunjukkan bahwa keterampilan repair sederhana seperti menjadi memperbaiki lampu adalah keterampilan yang perlu dikuasai oleh cukup banyak lampu di rumah gak numpuk dan kita bisa memperpanjang masa hidup sebuah barang sebelum akhirnya dibuang.

Urusan dukun lampu ini gak perlu disentralisasi di toko organis saja. Ke depan harusnya banyak drop box-drop box lain dan semakin banyak pula orang yang menguasai keterampilan tersebut. Akan keren bila muncul juga daftar nama dukun lampu di setiap area. Jadi orang bisa langsung mengakses dukun terdekat dengan lokasi tempat tinggal atau beraktifitasnya. Gak perlu sampai naek mobil berkilo-kilo untuk bisa membetulkan lampunya.

Semoga ini ini bisa dikit-dikit terealisasi. Mari beberes rumah untuk menemukan kembali lampu-lampu yang bergeletakan tak terpakai. Atau mulai dari sekarang, jangan buang lampu yang rusak, tapi kumpulkan untuk disetor ke dukun lampu.

Terimakasih hey kalian yang sudah menyalakan lampu-lampu ide dan mari bareng-bareng mewujudkannya. Iraha markinon deui euy? Hayulah diskusi lagi untuk menelurkan ide-ide baru dan juga berproses bersama untuk mewujudkannya J