Sunday 15 September 2019

Pekerjaan Domestik?

Salah satu yang masih menjadi tantangan saya saat ini adalah PR alias pekerjaan rumah tangga. Atau orang biasa sebut pekerjaan domestik.

Mengapa demikian?

Sebetulnya beban tersebut tidak hanya terasa setelah menikah, namun mulai terasa ketika mulai keluar dari rumah alias ngekost.

Saya begitu terbiasa dengan layanan pembantu sejak kecil. Memang ada beberapa pekerjaan rumah yang tetap saya dapat lakukan. Sesederhana mencuci piring bekas makan sendiri sih kecilll lah. Tapi di luar daripada itu, tidak ada satupun pekerjaan rumah yang saya minati.

Kalaupun pekerjaan rumah itu saya lakukan, biasanya tujuannya adalah hal yang lain. Misalnya supaya ga diomelin dan sejenisnya.

Ada masanya di rumah tidak ada pembantu, tapi masa tersebut biasanya tidak panjang. Jadi dilakukan saja karena memang harus dilakukan. Terutama pada saat lebaran, tentu pembantu pun libur. Seingat saya, masa terpanjang tidak ada pembantu adalah karena sulit cari pembantu. Entah bulanan atau mencapai hitungan tahun. Ditambah bonus mesin cuci yang rusak. WOWWWWW. Tapi badai tersebut akhirnya berlalu.

Jadi secara keseluruhan, saya terbiasa bebas beraktifitas tanpa perlu memikirkan tetek bengek urusan cucian, setrikaan, bersih-bersih rumah ataupun memasak.

Sejak pindah ke kosan, mulailah urusan pekerjaan rumah itu menjadi beban. Tempat cuci piring yang kurang nyaman, tidak langsung bersebelahan dengan tempat masak, membuat saya kadang menunda adegan cuci piringnya. Cuci baju juga bencana wwkw. Sampai-sampai pakaian sudah direndam lebih dari sehari semalam hanya karena satu kata sakti yaitu MALAS. Belun lagi setrikaan ahahhaha. Semua baju yang telah saya cuci, lipat dan masuk ke lemari baju. Adegan setrika hanya terjadi pada baju tertentu dan biasanya sebelum berangkat. Sesuai kebutuhan ajalah. Sapu dan pel kamar kosan? Jangan ditanya. Hanyalah dikerjaan pada saat-saat mood sedang sangat baik.

Kesimpulannya: Ampun deh betapa ancurnya prestasi saya dalam pekerjaan domestik saat ngekos.

Saat mulai menikah, bencana lainnya terjadi. Saya yang benar-benar selektif dalam mensetrika baju kemudian memiliki suami yang terbiasa baju tidur pun disetrika. Standar hidup yang tinggi dalam dunia persetrikaan. Belum lagi urusan mencuci. Waw, jadi 2 kali lipat kan jumlahnya. Urusan cuci piring juga perkara banget. Memang tempatnya bersebelahan dengan tempat masak, tapi gada bak cuci yang bisa sambil berdiri. Masak? Suami hanya bisa pasrah dengan masakan yang sangat alakadarnya dari si istri yang berupaya sholehah ini. Rasanya prestasi saya lebih buruk dibanding saat ngekos.. AMPUN DEH.

Namun biar bagaimana pun semua pekerjaan itu perlu dilakukan. Sampai akhirnya saya bertemu dengan postingan ibu Septi pendiri IIP. Saya kira manusia sehebat bu Septi tentu tidak punya hambatan dalam mengerjakan pekerjaan domestik. Nyatanya setrika dan masak adalah 2 tantangan terhebat. Saat ini, 2 tantangan tersebut yang sedang dipecahkannya. Caranya dengan BERDAMAI. Mencari cara supaya menemukan cara yang asyik saat melakukan adalah kuncinya. Contohnya setrika. Setrikanya sendiri tak usah dipungkiri merupakan kegiatan yang membosankan, tapi ibu Septi mencoba mengkombinasikan dengan nonton youtube favoritnya. Saya pun secara insting melakukan itu. Hanya saja beda derajat tontonan ibu Septi dengan saya ahaha. Saya sih ada di level nonton serial Korea.

Manfaat yang saya dapat, walau lambat, tapi setrikaan bisa dicicil film akhirnya tamat. Karena nonton pun, kalau ga disambil setrika, seringkali hanya bertahan beberapa menit dan berakhir dengan merem.

Dengan kasus setrika itu, saya jadi belajar bahwa tak perlu memungkiri bahwa kita tidak menyukai sesuatu. Namun temukan cara yang tetap asyik dalam melakukannya bahkan kalau perlu ada nilai plusnya. Misalnya serial korea tamat adalah nilai plus bagi saya.

Anda punya pengalaman sejenis dalam menyikapi pekerjaan rumah tangga? Yuk dibagi~