Tuesday 20 October 2015

Empati: Hati yang Gerimis?

Saran yang saya dapat dari psikolog adalah diajak untuk belajar lebih berempati dan juga belajar untuk lebih bisa merasakan perasaan sendiri. Dan saran teknis yang katanya perlu dilakukan adalah: belajar berinteraksi dengan anak-anak. Ketika ditanyakan saran teknis lainnya yang tingkatannya lebih cetek, saya justru diminta mencoba dulu hal tersebut.

Eaaaa, gaul sama anak-anak adalah hal yang tidak dihindari tapi bukan prioritas pertama yang ada dalam pikiran. Lempeng aja sih biasanya dan cenderung bukan menjadi “tante pilihan pertama” bagi anak-anaknya temen dan saudara. Lalu kalau gaul dengan anak-anak menjadi proses yang “dipaksakan” terlalu dini, yang paling kasihan adalah anak-anaknya. Padahal anak-anak termasuk yang paling peka dan tau banget kalau orang dewasa yang mengasuhnya “ga enakeun”.

Saran dari psikolog itu akhirnya belum saya lakukan. Heheheh, pasien yang nakal memang. Tapi terus terang, saya gak yakin dengan saran teknis tersebut.

Nah, saya mulai menemukan salah satu cara asyik untuk mulai belajar berempati. Entah ini tepat ataukah tidak. Saya mendapatkan 1 film yang humanis pisan. Film India sih. Film yang suka ditempelkan dengan image nari-nari dan polisi. Bila saya mendengar kata i-india-an, saya langsung kepikir film yang banyak narinya di taman tea. Seperti halnya film-fim India yang sempat booming di TV nasional jaman baheula.

Namun, film India yang saya tonton ini kayaknya termasuk jajaran film yang bukan dilekatkan pada 2 image tersebut. Sempet nonton dan baru ditonton ulang hari minggu (2 hari yang lalu). Humanis, realis dan keren pisan. Persis seperti kehidupan nyata dan banyak pesan moralnya tapi tidak terasa berat.

Nonton film India ini justru mengingatkan saya sama satu film yang ceritanya sangat sederhana, tapi dikemas dengan sangat apik. Ditonton jaman kuliah dulu. Di acara nobar himpunan bersama teteh-teteh akhwat keputrian (mungkin karena filmnya dari Iran hehehehe) Sudah pernah nonton filmnya? Judulnya Children of Heaven. Sempat dapat banyak penghargaan karena memang keren pisan.
*jadi kepikir pengen nonton ulang film itu*

Balik lagi ke film India yang menarik itu. 3 kata yang mewakili film ini adalah Hati yang Gerimis. Entah kenapa. Dan rasanya campur aduk karena film tersebut mengaduk-aduk perasaan. Mulai dari timbulnya rasa sedih, bahagia, kesel, kagum dan timbulnya optimisme.

Judul filmnya adalah Every Child is Spesial. Cerita tentang lika-liku kehidupan seorang anak yang bernama Ishaan. Penderita disleksia. Kesulitan untuk membaca dan menulis. Kalau dari nonton filmnya sih, sebenarnya penyakit tersebut bukan masalah yang terlalu besar. Banyak tokoh-tokoh di dunia ini yang menderita penyakit tersebut tapi kemudian mereka bisa memandang dunia dengan berbeda dan punya bakal special. Seperti Albert Einstain dan Thomas Alva Edison. Dan penderita diskeksia sebenarnya bisa tetap membaca dan menulis secara normal namun perlu belajar dengan cara yang berbeda.

Yang masalah banget di film ini adalah ketidak tahuan orang-orang di sekitar Ishaan akan gejala yang ada. Apalagi kemudian terdorong untuk mengobatinya. Yang ada justru respon negatif dari orangtua, guru dan teman-teman di sekolahnya. Dan reaksi negatif tersebut membuat tekanan yang cukup takarannnya untuk membuat Ishaan sampai depresi. Sedih banget ngebayangin kalau ada di posisi Ishaan. Sendiri, dikucilkan oleh semua pihak, bahkan harus pindah sekolah yang jauh berjarak dengan orang tua dan dan tanpa tau alasannya kenapa kecuali karena huruf-huruf yang selalu menari-nari ketika dilihat.

Yang keren adalah gurunya. Guru seni yang beda dibanding guru-guru lainnya. Ketika guru lain hanya memarahi Ishaan dan juga mengadukannya pada kepala sekolah, bahkan sekolah lama “stengah mengusir” Ishaan, Pak Nikumbh justru berbaik hati memfasilitasi Ishaan untuk menemukan potensi dirinya. Hese nginget nama-nama india teh hahaha. Pokonya yang main sebagai Pak Nikumbh adalah Aamir Khan. Ini guru yang sangat keren saat menangani anak-anak, mengubah cara pandang para guru dan meyakinkan orang tua Ishaan untuk memahami masalah yang ada. Tidak selalu langsung berhasil, tapi prosesnya untuk menfasilitasi itu yang menarik!

Tepuk tangan heula untuk teknik fasilitasinya yang juara pisan! Dia sampai niat dateng ke rumah Ishaan. Dan kemudian akhirnya dapat mendeteksi bahwa walaupun Ishaan punya “kelemahan” disleksianya, tapi bakat seninya luar biasa. Kalau lukisan, saya gak paham bagusnya sebelah mana. Tapi ini salah hasil karyanya yang berkesan bagi saya. Ekspresi Ishaan saat merasa "terbuang" karena harus pindah ke sekolah asrama dan jauh dari orangtuanya. 









Ketika dibuka bukunya secara cepat pakai satu tangan,. Sreeeeett gitu, kelihatan perubahan posisi Ishaan yang asalnya dekat dengan orangtuanya dan kemudian lembar demi lembar memperlihatkan posisinya yang menjauh. Idenya cerdasss!

Nikumbh berusaha menjelaskan tentang disleksia tapi kedua orangtunya tampak sulit teryakinkan. Teknik fasilitasi yang baik adalah saat dia mencoba mengambil produk kemasan yang bertuliskan cina (cina atau jepang ya, lupa) dan kemudian meminta bapaknya Ishaan untuk membaca sambil diberikan beberapa hardikan ketika bapaknya Ishaan mengalami kesulitan. Itu teknik yang keren pisan: ketika sulit diberi pengertian, memang yang terbaik adalah berikan pengalaman serupa supaya bisa lebih “terasa”.

Sama halnya saat adegan: bapaknya Ishaan niat pisan dateng ke sekolah Ishaan (jaraknya kayanya cukup jauh). Hanya untuk bilang bahwa istrinya sudah membaca tentang disleksia dan itu dirasa sudah cukup untuk melarang Nikumbh untuk berkata bahwa dirinya bukan orangtua yang tidak peduli. Dan Nikumb tak lantas balik menasehati tapi justru hanya menceritakan arti "peduli" berdasarkan pemahamannya dan itu lumayan bikin si bapak JLEB: Peduli ltu sangat penting.Hal itu mempunyai kekuatan.Dapat mengobati luka.Itulah yang anak inginkan.Pelukan, ciuman sayang,untuk memperlihatkan kalau aku peduli.Nak, aku sayang kamu.Jika kamu takut datanglah padaku.Jadi jika kau terjatuh, gagal. Jangan khawatir, aku selalu ada untukmu.

Hal lain yang menarik perhatian saya adalah Nikumbh yang gampang tersentuh dan tergerak hatinya untuk “menarik” Ishaan (dan juga orang-orang disekitarnya) untuk dapat melihat potensi terpendamnya. Itu semua rupanya digerakkan oleh empati. Dimulai dari memahami apa yang orang rasakan. Termasuk pengalaman pribadinya sebagai pengidap disleksia juga. Tapi kisah ini gak selesai dengan hanya berempati saja. Perlu bekal aneka ilmu, keberanian dan energy yang besar untuk kemudian melakukan tindakan lanjutan dari kepedulian yang telah ada.


Nikumbh dan Ishaan

Kurang lebih itulah sedikit pembelajaran yang saya dapatkan dari film ini. Masih banyak poin refleksinya, tapi yang tulisan ini menggambarkan terutama aspek terkait empati. Cukup untuk menjadi 1 kemajuan saya untuk mulai menerapkan saran dari psikolog. Tidak selalu dengan langsung gaul sama anak kecil untuk dapat mulai belajar berempati.

*agak ngeles, tapi tingkatan belajar berempati yang dipilih saat ini rasanya lebih nyaman dengan nonton-nonton film*
  


Ishan dilukis oleh Nikumbh
Salah satu lukisan Ishaan