Saturday 27 February 2016

Coba Masak Mie Sehat Yuk!


Apakah bahan dasar dari mie? Tepung?
Ya betullll!

Dan sebetulnya dari manakah tepung terigu itu?
Betul banget bahwa tepung terigu itu terbuat dari gandum. Yang mana gandum tidak ditanam di Indonesia. Gak bisa tumbuh soalnya.

Artinya, kalau kita makan mie, sudah dapat dipastikan dia adalah barang impor yang didatangkan dari luar negeri. Sesuatu yang didatangkan dari jauh biasanya membutuhkan bahan bakar (bensin untuk transport darat/aftur untuk pesawat) untuk ngangkut yang lebih banyak dari makanan yang diperoleh secara lokal. Kalau bahasa di temen-temen lingkungan, disebutnya berjejak ekologis yang lebih tinggi.

Ketika pengen pisan mie dari tepung terigu, sekarang berarti kita bisa tahu bahwa di dalamnya terkandung resiko ini itu terkait pengrusakan lingkungan. (((serem amet ya))))
Tapi sesekali dipilih, boleh juga dong untuk variasi karbohidrat. Hal yang mau saya ceritain kali ini adalah mie yang lebih sehat untuk dipilih. Apakah itu?

Mie yang banyak beredar saat ini adalah mie instan! Dikemas praktis untuk 1 porsi lengkap dengan bumbu dan berharga relatif murah. "Mie instan ini bukan hanya soal selera namun sudah jadi budaya.", begitu yang Astri bilang. Saya juga dulu sempat mengalami masa itu. Saat di rumah selalu tersedia stok mie instan sekardus. Sarapan di kala itu moal salah deui: kalau gak mie instan ya nasi + goreng telor. Karena pagi-pagi biasanya juga belum ada makanan lain di dapur.

Makan mie instan ini katanya gak baik. Tapi ada juga artikel-artikel yang bilang bahwa mie instan itu aman. Itu perdebatan yang tak kan pernah selesai. Banyak kepentingan dalam isu ini. Yang biasanya dipermasalahkan adalah masalah pengawet, pewarna dan penyedapnya yang berupa zat aditif berbahaya. Isu lain adalah kemasan. Kemasan mie ini pastilah plastik berwarna-warni. Tak ada yang bisa mendaur ulangnya. Kalaulah ada yang bisa membuat si kemasan mie jadi dompet dan barang-barang lainnya, itu sebenarnya upaya untuk memperlama masa hidup kemasan tersebut sebelum akhirnya dibuang (itupun kalau emang beneran produk "daur ulang" itu cukup bagus hasilnya dan ada orang yang mau make). Saat sudah tidak dipakai dan dibuang, dia gak ancur loh ya. Ada yang bilang reratus atau beribu tahun. Mari kita anggap dia gak hancur sajalah, supaya kita mikir sejuta kali saat mau membeli kemasan kecil-kecil yang hanya sekali pakai.

Setelah saya mengikuti pelatihan bahaya zat aditif pada makanan di YPBB, akhirnya tahu bahwa ada pilihan lain untuk memperoleh makanan yang lebih sehat. Kalau mau makan mie, bumbuin sendiri mienya. Belilah mie yang kemasannya besar seperti mie telor. Masih ada sampah? Tentunya. Kemasannya berwarna-warni? Tentunya. Minimal ini selemah-lemahnya "iman" dalam  "mengurangi dosa" ke bumi dengan membeli kemasan yang lebih besar.

Pilihan lain, mie basah yang berbungkus plastik bening sehingga kemasannya lebih memungkinkan untuk didaur ulang. Bahasa gampangnya: tukang pulung/rongsok/pengepul mau terima. Tapi masalahnya: apakah kita yakin bahwa tak ada pengawet dan pewarna berbahaya di dalam mie basah tersebut?

Makin banyak tahu, makin rieut dan rumit memang!

Tapi tenanglah, masih ada banyak jalan di saat kita ingin hidup lebih sehat (dan ga nyampah). Kalau niat banget, kita bisa coba bikin mie sendiri. Saya sampai level itu tapinya. Kapan-kapan saya perlu coba! Termasuk coba bikin mie yang bahan dasarnya bukan atau tidak full tepung terigu misalnya tepung ganyong dan tepung lokal lainnya. Jangan tanya cara bikinnya mie dari tepung lokal ini ya, kan saya juga belum coba.

Pilihan lain adalah beli mie yang diproduksi oleh orang yang terpercaya dan tanpa kemasan-kemasan! Ini yang sekarang lagi trend di kantor. Kita rame-rame pesen ke pakiki. Dia asalnya gak niat dagang. Tapi emang istrinya jago masak. Bayangin, dengan anak empat yang 2 diantaranya masih balita dan tanpa pembantu, ko mereka sempet-sempetnya bikin mie sendiri. Karena anak-anak suka mie, demi makanan sehat dan juga memanfaatkan sayur-sayuran yang ada (biasanya mereka dikirim rutin sayur dari daerah dampingan).

Kita baru coba 2 kali rame-rame pesan mie sehat ini. Kiki bawa pakai wadah-wadah besar (sejenis wadah besar plastik yang dipakai tukang donat) dan kita sebagai pembeli bawa misting (kotak makanan) untuk membawanya pulang. Gak nyampah deh jadinya. Daya tahan mie beda jauh dengan mie instan karena gak pake pengawet-pengawet buatan. Tahan 4 hari di kulkas dan bisa seminggu lebihan kalau di freezer. Mending beli dikit-dikit sesuai kebutuhan aja, biar dapet terus mie yang masih fresh. Direncanakan akan selalu produksi seminggu sekali katanya.


Mie mentah yang enak juga buat langsung dicemil  (Foto Koleksi: Rizky Aghistna)

Berat mie satu porsinya (1 porsi = satu gundukan) 200 gram. Ditakar untuk kira-kira sekali makan (porsi rada besar). Kalau lihat di gambar, yang warnanya kemerahan adalah mie yang dicampur wortel dan yang kehijauan dicampur sawi.


Kiri: Mie Testeran. Kanan: Mie Saus Bayam. Keduanya bikinan Bu Anti ( istrinya Kiki emang jago masak! Yang kanan terbukti enak, yang kiri cuma liat gambarnya aja udah ngilerrrr)

Rasanya? Enaaaaaaaaakk!
Banyak orang yang gak percaya sama lidah saya karena segala makanan juga biasanya dirasa enak-enak aja menurut saya. Tapi rasa enak ini telah divalidasi kebenarannya oleh beberapa teman-teman saya yang 1 angkatan pembelian mie.


Ini beberapa penampakan mie bikinan saya. Sluruuuuupppp!


Dari pengalaman memasaknya, mie ini bisa dibuat mie kuah maupun kering. Bumbunya standar aja seperti ulekan bawang merah, bawang putih, kemiri, garam, gula, merica. Paduan garam dan gula yang pas biasa saya gunakan untuk menimbulkan rasa gurih. Tentunya gak segurih pakai MSG atau penyedap macem vetsin/kaldu bubuk (royco and the gank), tapi karena udah terbiasa, ya emang kita gak butuh rasa yang gurih-gurih amat kok. Rasa gurih bisa didapat juga dari kaldu. Kemarin ini karena cari yang gampang-gampang, dikasi suwiran pindang tongkol dan pada kesempatan lainnya pakai teri medan. Untuk rasa pedas bisa ditambah potongan cabe rawit. Sebenarnya rasa pedas bisa didapat dari saus sambal sachet/botolan, tapi berhubung misinya adalah mengurangi sampah dan pengawet + pewarna yang berbahaya, maka cabe rawitlah yang jadi menjadi andalan. Juga bisa ditambahkan kecap untuk rasa manis. Biar lebih sehat dan segar, bisa tambahkan sayuran apapun. Lebih keren kalau sayurnya organis. Tapi berhubung kemarin kebon Soreang lagi gak panen, saya tambahkan sayur yang dibeli dari pasar.

Mengapa sampai saya tuliskan bumbu-bumbunya? Karena ada beberapa temen yang ternyata gak biasa masak mie dengan bumbu sendiri. Seumur hidupnya, kenal mie hanya ada 2 jenis. Pertama, mie bikinan orang lain. Kedua, mie instan yang gak perlu pake mikir masaknya. Tinggal panasin air dan sobek sana sobek sini bumbunya. Demikianlah melekatnya budaya mie instan di Endonesah tercinta ini. Ampuuunn!

Temen saya Mega, mencoba mie dengan bumbu sambel matah. Katanya enak!


Mie Sambel Matah (Foto Koleksi: Mega)


Mie ini bisa juga diolah juga jadi mie ayam. Kata teh Tiwi sebagai pembuatnya: ENAK!



Mie ayam (Foto Koleksi: Tiwi Arsianti)


Teman-teman lainnya coba masak mie dengan variasi bumbu dan campuran.


Mie-nya Debby (kiri) dan Mie-nya Kandi (kanan). Kaya enak kan? 


Anak-anak juga menyukai mie ini. Ya memang sih tergantung kepandaian memasak ibu/bapaknya. Tapi dengan niat kuat, Mita salah satu ibu-ibu muda yang tak pernah memasak mie selain mie instan pun BISA! Pembuktiannya dilihat dari habisnya mie yang dimasak Mita untuk Laut, putri kecilnya.


Laper apa doyan, Neng? :P (Foto Koleksi Amanda Mita)

Akhirnya budaya memasak sendiri muncul lagi dengan kemunculan mie homemade ini. Yeah!



Follow @1mg1cerita



Friday 19 February 2016

Waktu dan Kesempatan


Waktu. Itulah kesempatan yang paling mahal yang kita miliki.

Mau dipake molor, mau dipake beramal, mau dipake kerja, mau dipake piknik, mau dipake pacaran, mau dipake ngurus anak, mau dipake belajar, mau dipake berjuang, mau dipake ngerumpi, mau dipake ngobrol, mau dipake baca, mau dipake nulis, mau dipake ibadah, mau dipake olahraga, mau dipake masak, mau dipake mewarnai, mau dipake naek mobil, mau dipake naek angkot, mau dipake jalan kaki, mau dipake belanja, mau dipake berkebun, mau dipake rapat, mau dipake galau, mau dipake nongkrong, mau dipake iri, mau dipake marah-marah, mau dipake untuk bahagia, mau dipake ini itu segala macem pun bisa.

Kemarenan sempat nonton TED yang berbicara tentang rasa syukur. Menarik untuk disimak!




Video TED yang berdurasi rada panjang ini padat berisi. Banyak ungkapan bagus yang dilontarkan oleh David Steind Rast dan rasanya banyak yang bisa diambil sebagai pembelajaran. Kali ini saya akan mengutip beberapa ungkapan yang terkait dengan betapa berharganya waktu dan kesempatan.

Waktu adalah hadiah. Anda tidak perlu berjuang untuk mendapatkannya. Anda tidak menghasilkannya dengan cara apapun. Anda tidak memiliki cara untuk memastikan bahwa akan ada waktu lain yang akan diberikan untuk Anda. 

Meskipun begitu, waktu adalah hal paling bernilai yang dapat diberikan kepada kita. Saat ini, dengan segala kesempatan di dalamnya. Jika kita tidak mempunyai saat ini, kita tidak akan punya kesempatan untuk melakukan atau mengalami apapun, dan saat ini merupakan hadiah. Momen ini merupakan hadiah.

Jadi, waktu adalah fasilitas gratis yang diberikan semua orang. Tanpa terkecuali. Dan penggunaan waktu tersebut mutlak diberikan kewenangannya kepada setiap orang. KESEMPATAN! Itu kata kuncinya. Kita biasanya baru akan merasakan bahwa sesuatu itu berharga setelah kita merasakan manfaat dari hal tersebut. Bila kita bisa menggunakan waktu dan kesempatan yang diberikan tersebut untuk hal-hal bermanfaat dan bermakna, disitulah kita akan bersyukur dan disitulah kita akan bahagia.

Penderita penyakit yang sudah divonis “waktu anda tinggal sekian bulan lagi” setidaknya punya 2 pilihan. Pilihan pertama: merutuki nasib dan bersedih sembari menanggung penderitaan rasa sakit sampai akhirnya meninggal (serem amet ya pilihan kata-katanya). Atau pilihan yang mungkin lebih membahagiakan adalah mencoba menerima kenyataan yang terjadi dan kemudian memilih kesempatan untuk memanfaatkan waktu yang masih tersisa. Toh, sekian bulan ini pun terdiri dari ratusan hari, ribuan jam dan sekian menit dan sekian detik. Bahkan (kalau lihat cerita-cerita di film), dengan perasaan bahagia pasca divonis tersebut, umur seseorang malah bisa jadi lebih panjang dari yang diperkirakan dokter.





Demikian juga bila kita akan ditinggalkan atau meninggalkan suatu tempat, suatu komunitas atau orang yang bermakna bagi hidup. Bila perpisahan itu terjadi pada suatu waktu yang telah ditentukan, maka pilihan selalu ada. Tinggal pilih: mau bersedih dan mendramatisir suasana ataukah mau memanfaatkan waktu bersama yang masih tersisa (dengan semaksimal mungkin).



Follow @1mg1cerita