Friday 27 January 2017

Kampung Halaman?

Sebagai anak yang terlahir di kota besar, Bandung, rasanya bingung juga diminta untuk cerita tentang kampung halaman. Lahir di Bandung dan kemudian banyak menghabiskan masa kecil di Cimahi rasanya tak ada yang aneh. Yagitu ajasih.

Nah, semenjak menyandang status nyonya alias setelah menikah di akhir tahun lalu, saya otomatis jadi punya kampung halaman baru. Kampung teh beneran kampung alias lembur. Kampung halaman yang dimaksud adalah tempat tumbuh kembangnya Akang (suami) yaitu di Sumedang. Jadi, dalam tulisan ini, saya akan cerita sedikit tentang kampung halamannya Akang yang asyik. Sedikit karena memang baru 3 kali kesananya juga.

Barijeung saya lupa terus kalo ditanya, "Lemburnya Akang emang dimana Sumedangnya?" hahaha. Berdasarkan tulisan yang ada di dokumen-dokumennya Akang, Sumedangnya terletak di Nangkod Tanjungkerta. Itu daerah yang belum pernah saya kunjungi sebelumnya. Konon, letaknya sekitar 8 KM dari pusat kota Sumedangnya.

Dulu pertama kali berkunjung ke lembur Akang, ya pas kenalan sama keluarganya. Begitu memasuki jalan kecil yang kearah Nangkod, kerasa udaranya berbeda. Lebih segarrrr. Karena sawah masih ada di kanan kiri jalan. Itupun sudah banyak yang jadi rumah tampaknya. Tapi lumayan banget buat orang-orang yang udah sehari-harinya menghirup udara berpolusi di kota.

Dan ternyata, ini beneran lembur. Satu gang, semuanya saudara. Terus pada menyambut dengan hangat. Ya biasalah, pada bilang “eh calon manten” bla bla. Jadi begitu datang si calon mantennya, langsung burudul orang-orang dari rumahnya masing-masing (aslinya, gak hiperbola). Terus pada ngajakin ngobrol dan kenalan. Ini adik, kakak, ua, ibi, ini anaknya itu, ini anaknya ini, ini ibi yang anaknya di sono dan di sini. Kesimpulannya: lebih banyak nama dan silsilah yang LUPA daripada ingetnya wkwkkwkw. Ya maklumin aja ya, abisan banyak ketemu orang baru dalam satu waktu.


Sebagian saudara Akang

Makan apa aja kalau lagi kumpul rasanya enak. Ini pun terjadi di lembur Akang (padahal saya emang pada dasarnya seneng makan aja kaliya? Wwkwkw)

Makan bareng


Salah satu peristiwa seru terkait makan-memakan adalah proses ngobor. Jadi belut diobor dalam waktu sekitar 1 jam. Diobor maksudnya adalah belutnya diambil di sawah dan yang ngambilnya diterangi oleh lampu supaya kelihatan. Diambilin gitu dari dalem sawah oleh beberapa orang. Menurut cerita begitu sih, saya sendiri gak ikut ke sawah pas adegan tersebut. Istilah ngobor ini diambil dari kata obor karena dulu alat penerangannya menggunakan obor

Sesudahnya saya melihat atraksi proses “mematikan” dan membersihkan belut berikut ini. Anak kecil aja berani pegang-pegang belut. Ponakan Akang berani pegang belut dan gak takut kotor. Mudah-mudahan, di lembur ini anak-anak yang biophobia (takut sama alam) memang lebih sedikit jumlahnya dibandingkan di kota.


Mengolah belut

Dan ini belutnya ketika sudah digoreng. Sangat menggoda bukan? 

Belut goreng


Enaknya di lembur adalah masih ada beberapa bahan makanan yang bisa diambil di alam. Maksudnya, bisa diambil tanpa niat ditanam atau dipelihara. Contohnya belut tadi. Contoh lain adalah genjer. Ini juga banyak ada di sawah. Bisa ditumis pakai oncom. Enak pisan! Atau sekedar dileob (disiram air mendidih) untuk dijadikan lalab. YUMMY :) 

Ibi-nya Akang lagi ambilin genjer di sawah

Opieun atau makanan ringan khas yang disajikan di rumah-rumah berupa cau (pisang), dan aneka makanan yang terkait dengan ketan seperti opak, ranginang dan ulen. Ini disajikan terutama kalau ada acara-acara. Beberapa diantara saudara Akang ada yang masih bisa membuatnya sendiri. Ketahuilah bahwa opak yang paling enak adalah opak yang dibuat sendiri. Bukan yang hasil produksi masal. Yang tipis-tipis dan kelihatan bekas bakarannya. NYAM!

Keliatan kan bagian yang item-item tutungnya. Enaks!

Dan masih ada yang bawa makanan dalam rantang bunga-bunga macem gini :) 


Mari sudahi urusan makanan, karena makin lama ko rasanya makin laper dan pengen duduk ngariung makan bareng sama keluarga Sumedang.

Kondisi alamnya masih asyik. Jalan ke bawah sedikit, akan ditemui beberapa balong (kolam) pemancingan. Dulu kayanya itu sawah. Ke arah bawah lagi dikit, ketemu sungai. Tak jernih-jernih amat, tapi masih ada orang yang masih terlihat memanfaatkannya untuk mencuci baju dan piring. Sudah tidak banyak karena saluran air sudah mulai masuk ke rumah-rumah.

Sungai

Ibi-nya Akang yang sedang cuci piring di saluran irigasi


Yang pasti masih bisa dipakai main air. Segerrrr



Sawah juga sangat dekat dengan rumah. Tinggal turun dikit dan terhamparlah sawah.



Sawah masih banyak lagi di area atas. Cukup lewati jembatan dan akan kelihatan sawah yang terhampar luas. 


Pas kunjungan ke lembur bulan ini, saya ikut jalan ke sawah anterin makanan buat kakak-kakaknya akang yang lagi pada kerja di sawah. Saya padahal baru makan di rumah, tapi ujungnya makan lagi di pinggir sawah. Asalnya jaim tea gamau, tapi dibibita wae. Akhirnya luluh~

Ahahhaha, udah pindah tema sawah, berujung sama ke urusan makan-memakan lagi. Makan terosssss~

Genk #makanDiSawah : aa, dan ipar-iparnya Akang

Dengan kondisi alam yang ada, pojok selfie dan wefie bisa banget ditemukan di berbagai sisi~
  
Foto berdua sama Akang. Gatau itu belakangnya naon. Kalo gasalah, kita waktu itu duduk di jembatan kecil
Saya dan ponakan: maksud hati hanya foto berdua, taunya dapet bonus ayam heheh

Begitulah kurang lebih kehidupan di lembur Akang (dan jadi lembur saya juga). Suasana asyik dan hangat ini mudah-mudahan bisa berjalan seterusnya. Dan Nangkod Sumedang bisa menjadi salah satu pilihan tempat untuk menjalani hari tua kelak.



dibuat untuk memenuhi tantangan tema #1minggu1cerita