Friday 20 May 2016

Kerupuk Tanpa Sampah?

Mau pamer dulu menu sarapan tadi pagi ah! Ada sesuatu yang berbeda. Coba amati, apakah yang berbeda itu? 




Pastinya ini masakan sendiri dan dibumbui sendiri. Bukan mie instan #tolakMieInstan. Mienya tentunya saya masih berlangganan mie homemade yang sehat dari @dapursikecil (tentang mie sehat tsb, lihat di sini). Kali ini saya masak mie yang rasa cengek. Enaaakkk. 

Tapi urusan mie-mie-an dan juga masak bumbu sendiri, sebenarnya takada yang aneh. Karena saya belakangan ini emang berupaya disiplin masak sendiri. Isunya sih biar lebih sehat, jelas tanpa penyedap yang aneh-aneh dan juga demi menghemat uang. Urusan hemat uang ini, saya ga itung bener sih. Mungkin bisa lebih murah, tapi waktu yang dipakai ya lumayan oge. 

Yang berbeda dari menu sarapan saya adalah: kerupuknya! Kerupuknya sih biasa aja. Kurupuk aci. Pastinya masih dikasi penyedap sejenis pecin (makanya gurih hahahah). Tapi minimal saya berhasil mencegah sampah plastik pembungkusnya. 

Jadi, pas beli kurupuk, saya bawa wadah. 



Hal ini baru akhirnya saya lakukan setelah beberapa kesempatan sebelumnya: beli krupuk yang berkemasan plastik bening. Alasannya macem-macem. Pokonya manusia mah paling jago lah cari alesan teh. Seperti: 
1) Tiap ada tukang krupuk yang pake blek kaya di gambar berikut

Foto: http://bit.ly/1rYCJRw

Saya pasti lagi keburu-buru mau pergi. Jadi ga sempat lah balik lagi ke kosan dan ambil wadah krupuk. Selalu gitu. 

2) Pas lagi buru-buru itu, saya sempatkan nanya ke mamang tukang kerupuk terkait jadwal mereka mangkal. Maksudnya, supaya kapan-kapan bisa beli sesuai jadwal mereka. Terus jawaban mereka tuh gakan jauh dari: "gak tentu" "sekitar jam sekian-sekian" dkk. Kesimpulannya: gak pasti jamnya dan belum tentu tiap hari lewat. Hesye pan kalo kaya begitu. 

3) Ada mamang kerupuk dan juga saya lagi gak buru-buru. Udah semangat ambil wadah kerupuk dari kosan, taunya si mamang udah membungkus seluruh kerupuknya. Gagal lagi tah!

Udah, tiga aja lah ya list alasannya. Pokoknya semua berujung: YAUDAH DEH BELI KRUPUK BERPLASTIK. 

Begitulah balada untuk mencoba mengurangi sampah plastik dari kemasan kerupuk. Saat akhirnya saya bisa beli kerupuk pakai wadah di atas, tampaknya memang sudah berjodoh aja. Waktu dan tempatnya tepat. Walapun si mamangnya teh bilang bahwa: lebih baik beli aja yang berkemasan plastik seperti ini

Foto: http://bit.ly/1Tjksue

Karena bakal lebih awet. Si mamang meureun ga kepikiran lah isu reduce dll. Sambil si mamang ngeladangin, ya saya sambil bilang aja bahwa tujuan saya membeli pakai wadah tuh karena memang ingin mengurangi sampah plastik dari awal. Entahlah si mamang paham atau engga dengan apa yang saya katakan. Pokonya mah meureun: pembeli adalah raja titik. Kalo berisik pengen diladenin pake wadah, selagi bisa, ya dia akan layani. 

Saya jadi keinget kebiasaan yang dulu terjadi di rumah Cimahi. Ada masa dimana, kita punya 1 blek kerupuk yang seperti ini (lupa rentang tahunnya)

Foto: http://bit.ly/1sFuPwV

Dan mamang kerupuknya ngelanggan. Biasanya dia hanya libur saat jelang lebaran karena pulang kampung. Dan kalau pulang mudik, suka kasi oleh-oleh kolang-kaling dari lemburnya. Bentuk blek krupuknya dipikul. 

Kurang lebih seperti ini. Foto: http://bit.ly/1qytRk3

Jadi, kebiasaan mencegah sampah dari awal terkait urusan kerupuk, sebenarnya sudah terjadi dari jaman dulu. 

Ada satu cara lain lagi sih! Belilah kerupuk di warung yang masih menjualnya pakai blek kerupuk!
Kita tinggal bawa wadah kerupuk. Bahkan bisa beli hanya 1-2 buah sesuai kebutuhan. Dan saya baru ingat bahwa depan kosan ada warteg yang masih menjual kerupuk menggunakan blek. Kapan-kapan coba ah!

Begitulah sekilas cerita saya dalam upaya mencegah sampah plastik dari kemasan kerupuk. Mana cerita #reduce mu?  

Wednesday 11 May 2016

Persatuan Blogger Lingkungan, Adakah?

(Dulu) sebagian besar tulisan saya di blog tentang lingkungan. Ya terutama tentang upaya-upaya dalam mengurangi sampah. Saya gak mengkhususkan diri untuk menuliskan isu tersebut. Tapi karena memang sehari-hari nguprek-nguprek isu yang sama dan berlangsung sudah bertahun-tahun, secara otomatis yang ngaburudul saat nulis, ya tentang lilingkunganan.

Kalau ditanya, apakah saya sudah terbranding sebagai blogger lingkungan? Kayanya masih jauh (pisan). Teknik nulis aja ga belajar khusus. Nulis semaunya, tema sakahayang dan frekuensi menulispun jarang. 

Yang dimiliki hanyalah semangat untuk mendokumentasikan beberapa pengalaman seru dalam mengurangi sampah dan aspek-aspek seputarnya sehingga bisa dibagikan infonya saat ada yang membutuhkan. Syukur-syukur bila tiba-tiba ada pembaca blog yang nyasar saat googling tentang sampah dan lingkungan dan jadi tercerahkan dengan tulisan yang saya celotehkan. 

Seorang blogger lingkungan yang saya bayangkan adalah blogger yang beberapa (atau seluruh tulisannya) bisa menggerakkan lebih banyak orang untuk mau mengubah gaya hidupnya menjadi lebih ramah lingkungan. 

Blogger lingkungan yang saya pikir cukup ideal, setidaknya memiliki 3 hal ini: 
1) Keterampilan menulis yang cukup persuasif. Mau gak mau perlu persuasif karena pengennya kan sampai bisa menggugah orang untuk berubah.
2) Pengetahuan yang cukup tentang mengapa begini dan mengapa begitu. Maksudnya, selain hal-hal praktis yang biasanya dibagikan dalam tulisan tentang gaya hidup ramah lingkungan, pengetahuan dasarnya perlu dimiliki juga. Gak perlu mendalam banget tapi kerangka berpikirnya yang perlu cukup kuat dimiliki. Kalau di YPBB, ngikut pelatihan keberlanjutan yang dasar, cukup lah untuk buka mata. Sisanya belajar lagi sendiri dari berbagai sumber. 
3) Dalam keseharian dan dalam pemikirannya si blogger ini memang beneran sedang berubah menuju gaya hidup yang lebih ramah lingkungan. Jadi tulisan yang dibuat beneran berasa dan lebih menggerakkan. 

Ada lagi keterampilan teknis yang bisa menunjang pencapaian tujuan seperti misalnya keterampilan ngutak-ngatik supaya tulisan kita ada di papan atas di mesin pencarian, keterampilan memaksimalkan medsos untuk menyebarkan tulisan di blog kita dll dsb. Tapi itu hal-hal yang sekunder. Yang penting punya ketiga aspek di atas aja dulu. Kalau salah satu dari tiga tersebut ada yang bolong atau kadarnya masih cukup rendah, kemungkinan tulisannya jadi kurang greget dan belum mencapai tujuan bloger lingkungan yang saya pikirkan ideal. 

Itu yang jadi bayangan awal tentang blogger lingkungan. 

Terkait dengan hal tersebut, rasanya saya belum lihat bahwa ada sejenis Persatuan Blogger Lingkungan. Mungkin ada, tapi sayanya yang belum tau karena kurang gaul. Udah lama juga ga uprek-uprek dunia blogger selain berupaya konsisten nulis seminggu sekali (dalam program #1minggu1cerita) . Dan nulisnya juga ga mewajibkan diri tentang gaya hidup yang ramah lingkungan. 

Saat kemarin beberapa saat gooling, malah menemukan beberapa fenomena seperti: 
1) adanya lomba-lomba-an blogger (menulis) yang bertema lingkungan. Biasanya dilakukan dalam rangka peringatan lingkungan ini itu (hari bumi, hari lingkungan dll)




2) adanya kegiatan "penyadaran" yang dibuat untuk para blogger sehingga diharapkan juga menulis tentang lingkungan.

Acara Blogger Bicara Lingkungan. Foto: dari sini

Acara menanam bakau bersama untuk para blogger. Foto: dari sini

Untuk kedua fenomena ini, penyelenggaranya bisa institusi/komunitas yang memang fokus di isu lingkungan, organisasi mahasiswa, CSR ataupun institusi/komunitas yang tidak menggarap isu lingkungan secara khusus. 

3) adanya portal menulis keroyokan yang menyediakan channel khusus untuk isu lingkungan


Misalnya Kompasiana.com

Jadi kesimpulannya: sejauh googling sekilas dan denger-denger, belum ada Persatuan Blogger Lingkungan yang berjalan dan masih aktif saat ini. Bikin aja gitu ya? (barijeng ngurus #1minggu1cerita aja belum baleg hahah). Tolong inpokan ke saya kalau memang persatuan tersebut sudah ada ya. Pengen ikutannnn! 


follow @1mg1cerita


Saturday 7 May 2016

#TPSperjuangan?

Kemanakah sebenarnya sampah kita pergi dan berakhir?
Itu adalah hal yang jarang dipikirkan secara sadar oleh kebanyakan orang.

Beberapa orang yang saya tanya di beberapa pelatihan menjawab dengan fasih bahwa sampah itu berakhir di TPA alias tempat pembuangan akhir (belakangan "P" nya juga diartikan sebagai "pemrosesan"). Setelah sebelumnya diangkut oleh mamang sampah ke TPS (pembuangan sampah sementara) dan akhirnya dibawa oleh truk kuning PD kebersihan menuju TPA.

Rangkaian dongeng tersebut diketahui oleh cukup banyak orang. Buktinya dari banyak pelatihan yang sempat saya fasilitasi (kayanya baru puluhan pelatihan-belum sampe ratusan) ataupun ikuti, selalu ada peserta yang bisa menceritakan dengan fasih dongeng tersebut.

Bahkan ada yang sampai beneran menelusuri dongeng tersebut. Beneran liat mamang sampahnya pas lagi ngangkut sampah. Beneran tau TPS mana yang akhirnya jadi tempat menclok sampah dari RW-nya. Bahkan ada yang beneran ikut sama truk sampah yang menuju TPA. Perilaku terakhir ini biasanya dilakukan oleh anak-anak mahasiswa teknik lingkungan saat mengambil kuliah persampahan yang dalam rangka mengerjakan tugas kuliah.

Kesimpulan sementara dari saya: sudah cukup banyak orang yang tau kemana sampah mereka akan menuju dan berakhir. (itu asumsi saya dari hanya melihat jawaban para peserta pelatihan yang ditemui dalam beberapa tahun terakhir).

Lalu setelah tahu, apa?

Sekarang kita cuplik bagian kecil dari rangkaian dongeng tersebut. Yaitu dongeng seputar TPS. Seperti apakah wajah TPS di kota Bandung?Amati baik-baik 3 gambar berikut ya.

Wajah TPS di Kota Bandung (dan mungkin seperti TPS di kebanyakan kota lainnya) Foto: bebassampah.id

Dari segi estetis, tidak indah. Dari segi baunya, kebayang "sedapnya", Potensi bibit penyakit? Pastinya ada Foto: bebasampah.id 

Dari ketiga foto tesebut, saya tak menemukan 1 tanda "resmi" bahwa itu TPS milik pemerintah. Plang misalnya? Foto: bebasampah.id

Begitulah gambaran kondisi TPS di kota Bandung. TPS tersebut terdiri dari TPS Pasar Palasari, Patrakomala, Peta, RS Kebon Jati, Andir, Nyengseret, Sarimadu, Cisinged, Binongjati, Cijambe, Ence Aziz dan Gudang Selatan. Data foto yang saya kompilasi cukup baru, didapat oleh para surveyor bebassampah.id di akhir tahun 2015. Kompilasi foto TPS diatas diambil secara acak dari foto-foto TPS yang tersedia di bebassampah.id (kalau mau lihat foto dan data yang lebih lengkap, sila langsung menuju peta di bebassampah.id)

Berkat sedikit begaol sama orang-orang PD kebersihan (halah) dan juga hasil ngobrol sama beberapa surveyor bebassampah.id, selintas saya jadi tahu bahwa TPS di kota Bandung berjumlah 150-an. Artinya: setiap kelurahan minimal punya 1 TPS karena jumlah kelurahan di Bandung ada 151.

Artinya lagi: TPS bisa banget jadi "etalase" pengelolaan sampah di tiap kelurahan = etalase pengelolaan sampah kota.

Dari "etalase" di akhir 2015 itu kita bisa langsung tau bahwa:
1) sampah dari rumah masih bercampur baur antara sampah sisa makanan, sampah-sampah yang potensial masih bisa didaur ulang dan sampah yang gak bisa diapa-apain (atau biasa disebut residu)
2) karena bercampur tersebut makanya jadi bau
3) kalau udah bau, apalagi gak langsung diangkut makaaaaa yang lewat jadi gak nyaman. Seeeengg, langsung semerbak mewangi begitu melewati area TPS.
4) jumlahnya itu ya buuu paaakkk. BANYAK! Kadang sampai gerobaknya antri panjang. Bahkan katanya sampah TPS bukan hanya datang dari gerobak-gerobak RW sajah sebagai yang ngikut mekanisme PD Kebersihan (yang ber-MOU antara RW dan PD Kebersihan) tapi juga sampah dari orang yang lewat dan atau naek motor. Laluuu plung buang sampah di TPS tersebut. Entahlah itu warga mana.

Begitulah kalau kita mau melihat "etalase" tersebut secara jujur. Pengelolaan sampah di tingkat rumah tangganya masih "payah".

Apa yang kira-kira bisa dilakukan supaya "etalase" tersebut berubah jadi lebih baik.

Kalau dari rumah-rumah sampah sudah terpisah minimal jadi 3 maka:
1) sampah sisa makanannya gak nyampur dengan sampah lainnya. Sampah inilah yang sering dituding jadi penyebab bau, Keren pisan kalau bisa diolah langsung ditempat. Si sumber bau ini gausah diangkut-angkut ke TPS tapi justru dia bisa disulap jadi kompos yang bisa dipakai menanam!
2) sampah yang masih bisa didaur ulang atau yang biasanya disebut piduiteun akan bisa langsung diambil sama tukang sampah/tukang pulung/disetor ke bank sampah dan lapak tanpa ada kerujitan yang berarti. Gak rujit dong, kan dari awal ga dicampur sama sampah sisa makanan.
3) sampah yang gak bisa diapa-apain (dikompos gak bisa, dijual juga gak payu, dan sering disebut sebagai residu), ini lah yang nantinya mau tak mau perlu diangkut ke TPS.

Dan taukah kawan, jumlah rata-rata sampah residu dari rumah itu hanya 30% persen!

Artinya: jumlah sampah yang sampai ke TPS akhirnya bisa berkurang jadi TIDAK BANYAK LAGI (kan 70%nya sudah diurus). Bebauan pun akan berkurang secara signifikan (kan sampah sisa makanannya udah diurus di area rumah) dan si pemulung gak harus ngorek-ngorek lagi di TPS. Dengan sudah terpisah dari awal, sampah sampah-sampah yang potensial piduiteun bisa diambil dalam keadaan relatif bersih.

Nah, kalau penanganan sampah dari rumah ini mulai dilakukan, tentunya penampakan TPS sebagai "etalase kondisi pengelolaan sampah kota" akan lebh nyaman dipandang dan nyaman pula di hidung.

Yeah, teorinya sih sesederhana itu. Yang masih menjadi tantangan bersama: seberapa bisa motivasi kita sebagai penghasil sampah bisa meningkat untuk mulai mengelola sampah dari rumah? Dan cara apa yang paling efektif untuk meningkatkan motivasi itu?

Mari jawab bersama 2 pertanyaan tersebut dengan LANGKAH NYATA :)
 
Salah satu solusi awal banget yang ditawarkan oleh tim bebasampah.id adalah dengan membuat sistem rating TPS oleh warga kota. Dengan menilai tentunya warga jadi makin ngeh dengan kondisi di TPS sekitarnya kan? Dan hasil penilaian dari masyarakat itu juga bisa jadi data bagi pengelola sampah kota dalam melakukan perbaikan sehingga TPS yang ada bisa jadi #TPSperjuangan!

Daripada panjang-panjang cerita tentang rating TPS, mending lihat lengkapnya di video ini!