Saran yang saya dapat dari psikolog adalah diajak untuk belajar lebih berempati dan juga
belajar untuk lebih bisa merasakan perasaan sendiri. Dan saran teknis yang
katanya perlu dilakukan adalah: belajar berinteraksi dengan anak-anak. Ketika
ditanyakan saran teknis lainnya yang tingkatannya lebih cetek, saya justru
diminta mencoba dulu hal tersebut.
Eaaaa, gaul sama
anak-anak adalah hal yang tidak dihindari tapi bukan prioritas pertama yang ada
dalam pikiran. Lempeng aja sih biasanya dan cenderung bukan menjadi “tante
pilihan pertama” bagi anak-anaknya temen dan saudara. Lalu
kalau gaul dengan anak-anak menjadi proses yang “dipaksakan” terlalu dini, yang paling kasihan adalah
anak-anaknya. Padahal anak-anak termasuk yang paling peka dan tau banget kalau
orang dewasa yang mengasuhnya “ga enakeun”.
Saran dari psikolog
itu akhirnya belum saya lakukan. Heheheh, pasien yang nakal memang. Tapi terus
terang, saya gak yakin dengan saran teknis tersebut.
Nah, saya mulai
menemukan salah satu cara asyik untuk mulai belajar berempati. Entah ini tepat
ataukah tidak. Saya mendapatkan 1 film yang humanis pisan. Film India sih. Film
yang suka ditempelkan dengan image nari-nari dan polisi. Bila saya mendengar
kata i-india-an, saya langsung kepikir film yang banyak narinya di taman
tea. Seperti halnya film-fim India yang sempat booming di TV nasional jaman
baheula.
Namun, film India yang
saya tonton ini kayaknya termasuk jajaran film yang bukan dilekatkan pada 2
image tersebut. Sempet nonton dan baru ditonton ulang hari
minggu (2 hari yang lalu). Humanis, realis dan keren pisan. Persis seperti kehidupan
nyata dan banyak pesan moralnya tapi tidak terasa berat.
Nonton film India ini
justru mengingatkan saya sama satu film yang ceritanya sangat sederhana, tapi
dikemas dengan sangat apik. Ditonton jaman kuliah dulu. Di acara nobar himpunan
bersama teteh-teteh akhwat keputrian (mungkin karena filmnya dari Iran
hehehehe) Sudah pernah nonton filmnya? Judulnya Children of Heaven. Sempat
dapat banyak penghargaan karena memang keren pisan.
*jadi kepikir pengen
nonton ulang film itu*
Balik lagi ke film
India yang menarik itu. 3 kata yang mewakili film ini adalah Hati yang Gerimis.
Entah kenapa. Dan rasanya campur aduk karena film tersebut mengaduk-aduk
perasaan. Mulai dari timbulnya rasa sedih, bahagia, kesel, kagum dan timbulnya
optimisme.
Judul filmnya adalah Every
Child is Spesial. Cerita tentang lika-liku kehidupan seorang anak yang bernama
Ishaan. Penderita disleksia. Kesulitan untuk membaca dan menulis. Kalau dari
nonton filmnya sih, sebenarnya penyakit tersebut bukan masalah yang terlalu
besar. Banyak tokoh-tokoh di dunia ini yang menderita penyakit tersebut tapi
kemudian mereka bisa memandang dunia dengan berbeda dan punya bakal special.
Seperti Albert Einstain dan Thomas Alva Edison. Dan penderita diskeksia sebenarnya bisa tetap
membaca dan menulis secara normal namun perlu belajar dengan cara yang berbeda.
Yang masalah banget di
film ini adalah ketidak tahuan orang-orang di sekitar Ishaan akan gejala yang
ada. Apalagi kemudian terdorong untuk mengobatinya. Yang ada justru respon negatif dari
orangtua, guru dan teman-teman di sekolahnya. Dan reaksi negatif tersebut
membuat tekanan yang cukup takarannnya untuk membuat Ishaan sampai depresi.
Sedih banget ngebayangin kalau ada di posisi Ishaan. Sendiri, dikucilkan oleh
semua pihak, bahkan harus pindah sekolah yang jauh berjarak dengan orang tua dan
dan tanpa tau alasannya kenapa kecuali karena huruf-huruf yang selalu
menari-nari ketika dilihat.
Yang keren adalah
gurunya. Guru seni yang beda dibanding guru-guru lainnya. Ketika guru lain
hanya memarahi Ishaan dan juga mengadukannya pada kepala sekolah, bahkan
sekolah lama “stengah mengusir” Ishaan, Pak Nikumbh justru berbaik hati
memfasilitasi Ishaan untuk menemukan potensi dirinya. Hese nginget nama-nama india teh
hahaha. Pokonya yang main sebagai Pak Nikumbh adalah Aamir Khan. Ini guru yang
sangat keren saat menangani anak-anak, mengubah cara pandang para guru dan
meyakinkan orang tua Ishaan untuk memahami masalah yang ada. Tidak selalu
langsung berhasil, tapi prosesnya untuk menfasilitasi itu yang menarik!
Tepuk tangan heula
untuk teknik fasilitasinya yang juara pisan! Dia sampai niat dateng ke rumah
Ishaan. Dan kemudian akhirnya dapat mendeteksi bahwa walaupun Ishaan punya “kelemahan”
disleksianya, tapi bakat seninya luar biasa. Kalau lukisan, saya gak paham bagusnya sebelah mana. Tapi ini salah hasil karyanya yang berkesan bagi saya. Ekspresi Ishaan saat merasa "terbuang" karena harus pindah ke sekolah asrama dan jauh dari orangtuanya.
Ketika dibuka bukunya secara cepat pakai
satu tangan,. Sreeeeett gitu, kelihatan perubahan posisi Ishaan yang asalnya
dekat dengan orangtuanya dan kemudian lembar demi lembar memperlihatkan
posisinya yang menjauh. Idenya cerdasss!
Nikumbh berusaha
menjelaskan tentang disleksia tapi kedua orangtunya tampak sulit teryakinkan. Teknik
fasilitasi yang baik adalah saat dia mencoba mengambil produk kemasan yang
bertuliskan cina (cina atau jepang ya, lupa) dan kemudian meminta bapaknya
Ishaan untuk membaca sambil diberikan beberapa hardikan ketika
bapaknya Ishaan mengalami kesulitan. Itu teknik yang keren pisan: ketika sulit
diberi pengertian, memang yang terbaik adalah berikan pengalaman serupa supaya
bisa lebih “terasa”.
Sama halnya saat adegan: bapaknya Ishaan niat pisan dateng ke sekolah Ishaan (jaraknya kayanya
cukup jauh). Hanya untuk bilang bahwa istrinya sudah
membaca tentang disleksia dan itu dirasa sudah cukup untuk melarang Nikumbh
untuk berkata bahwa dirinya bukan orangtua yang tidak peduli. Dan Nikumb tak
lantas balik menasehati tapi justru hanya menceritakan arti "peduli"
berdasarkan pemahamannya dan itu lumayan bikin si bapak JLEB: Peduli ltu sangat penting.Hal itu mempunyai
kekuatan.Dapat mengobati luka.Itulah yang anak inginkan.Pelukan, ciuman
sayang,untuk memperlihatkan kalau aku peduli.Nak, aku sayang kamu.Jika kamu
takut datanglah padaku.Jadi jika kau terjatuh, gagal. Jangan khawatir, aku selalu ada untukmu.
Hal lain yang menarik
perhatian saya adalah Nikumbh yang gampang tersentuh dan tergerak hatinya untuk
“menarik” Ishaan (dan juga orang-orang disekitarnya) untuk dapat melihat
potensi terpendamnya. Itu semua rupanya digerakkan oleh empati. Dimulai dari
memahami apa yang orang rasakan. Termasuk pengalaman pribadinya sebagai
pengidap disleksia juga. Tapi kisah ini gak selesai dengan hanya berempati saja. Perlu bekal aneka ilmu, keberanian dan energy yang besar untuk kemudian
melakukan tindakan lanjutan dari kepedulian yang telah ada.
![]() |
Nikumbh dan Ishaan |
Kurang lebih itulah
sedikit pembelajaran yang saya dapatkan dari film ini. Masih banyak poin refleksinya, tapi yang tulisan ini menggambarkan terutama aspek terkait empati. Cukup
untuk menjadi 1 kemajuan saya untuk mulai menerapkan saran dari psikolog. Tidak
selalu dengan langsung gaul sama anak kecil untuk dapat mulai belajar berempati.
*agak ngeles, tapi
tingkatan belajar berempati yang dipilih saat ini rasanya lebih nyaman dengan
nonton-nonton film*
![]() |
Ishan dilukis oleh Nikumbh |
![]() |
Salah satu lukisan Ishaan |
No comments:
Post a Comment