Wednesday, 13 April 2016

Tempat Apakah Ini?

Budi bermimpi, ia dan ibunya pergi ke sebuah tempat yang isinya ribuan galon dan ribuan keler kaca. Tempat apakah ini? Rasanya asing tapi tampak akrab. 

Ibu Budi menggandeng tangan Budi. Tangan sebelahnya membawa tas kain yang berisi botol selai kosong, wadah shampo kosong dan kotak makanan kosong. Mereka berdua keliling-keliling sambil mengincar aneka barang yang ada. Ibu Budi langsung tak tahan ingin membeli aneka sabun mandi, sampo dan minuman literan yang ada di dalam galon. Wah, ternyata aneka selai pun tersedia dalam keler-keler kaca. Gentong-gentong berisi aneka tepung lokal juga tersedia! Aneka buah favorit ayah pun tersaji tanpa kemasan styrofoam. Mata Budi jelalatan melihat banyaknya permen, sereal dan kue-kue kiloan yang terpajang di keler kaca. Banyak makanan favoritnya! Tapi semua tersaji tanpa kemasan plastik. Kemasan plastik warna-warni, tak satupun mereka temui. 


Sumber foto: https://www.instagram.com/p/BDn0LCZJqRA/

Tanpa terasa seluruh lampu tempat tersebut telah mati. Mereka berdua terkunci di dalam. Tak ada orang lain yang menyadari bahwa masih ada Budi dan ibunya. Ibu Budi segera menelpon ayah Budi. Budi pun berusaha menghubungi ayahnya. Tapi tak bisa karena kehabisan pulsa. 

Di pagi harinya akhirnya Budi dan ibunya baru bisa keluar toko setelah ada petugas cleaning service yang datang di pagi buta. Manajer segera mendatangi mereka berdua dan berjanji untuk memberikan voucher belanja seumur hidup bagi keluarga Budi. 



follow; @1mg1cerita
  

Friday, 1 April 2016

Yakin, Zero Waste itu Bisa?

Tanpa sampah? Zero Waste? Nol Sampah?

Banyak orang yang bilang itu tak mungkin. Sesuatu yang belum pernah terjadi sebelumnya, memang kadang sulit dibayangkan sehingga sulit dipahami.

Dampak negatif dari masalah sampah, sebegitu seringnya kita lihat. 
Ada yang berbentuk film serem pisan kaya film ini..




Atau ini



Ada bagian solusinya juga sih di film itu teh. Tapi pasti weh da ada yang "protes" dan bilang bahwa: contoh positif itu kan di luar negeri! Kalau contohnya belum jleg depan mata, memang biasanya cukup sulit ditiru di area kita sendiri. 

Ada juga tentang bahaya ini itu yang divisulisasikan dalam poster.  


Poster tentang proses kembalinya racun dari plastik ke konsumen 

Infografis tentang masalah sampah di Bali

Bahkan yang digambarkan adalah parahnya masalah sampah di lautan. Foto ini adalah foto yang malu-maluin Indonesia. Foto ini dulu tenar banget pada masanya.

Dasyatnya berselancar di Endonesya! Lihat itu sampahnya. Buset daaahh!

Hal-hal "negatif" terkait sampah memang perlu diketahui dengan cukup detil. Termasuk kemungkinan terburuknya. Itu diperlukan supaya kita mengetahui kemungkinan yang terburuk yang akan terjadi dan juga untuk bikin kita ingin melakukan perubahan. 

Tapi begitu kita sudah penuhi tangki niat kita sampai 100%, kadang ada aja hambatannya untuk melakukan perubahan tersebut. Salah satu yang saya identifikasi sebagai salah satu penyebab adalah sulitnya mencari contoh yang ideal dan sudah mulai kelihatan bentuknya. 

Ideal itu seperti apa?
Dari yang saya pahami, konsep pengelolaan sampah (atau lebih tepatnya material) itu perlu dilakukan di setiap titik. Baik dari proses ekstraksi (pengambilan sumber daya daya seperti penambangan dll), proses produksi, distribusi, konsumsi (di rumah dll) dan pembuangan. 



lengkapnya silakan lihat di sini

Sekarang saya lagi pengen soroti tentang apa yang perlu dilakukan di rumah sebagai salah satu titik konsumsi. Coba perhatikan lebih detil bagian berikut: 




Kita bisa lihat bahwa ada panah masuk ke arah rumah dan ada panah keluar yang keluar dari arah rumah. Artinya, bila kita ingin melakukan intervensi di area konsumsi (dalam hal ini rumah) kita perlu pertimbangkan 2 aspek: 
1) apa yang masuk ke area rumah (maksudnya sumber daya yang dikonsumsi)
2) apa yang keluar ke area rumah (maksudnya limbah yang dihasilkan)

Mari perhatikan piramida pengelolaan sampah berikut:


diambil dari slide pelatihan Zero Waste Lifestyle YPBB

Kondisi real saat ini (dan dimana-mana), lapis bagian bawah (pembuangan) justru paling banyak dilakukan. Karena memang sudah kebiasaan dari lama bahwa "buanglah sampah pada tempatnya" adalah yang terbaik dan urusan kita dengan si sampah itu sudah selesai. BHAY! (kata anak mudah jaman sekarang mah) Padahal tingginya tingkat pembuangan sampah dari rumah mengakibatkan jumlah sampah di TPS dan TPA terus meningkat. Sampah itu kebanyakan gak diapa-apain loh. Ditumpuk wehhhh kitu. 

Udah pernah ke TPA? Pasti tau lah gimana nambrunya si sampah-sampah dari kota tersebut. Buat yang belum pernah, simak dulu nih yaa..





Dengan kondisi seperti ini, apa dong bisa dilakukan? 

Mari penuhi pikiran kita dengan aneka contoh baik (dan berhasil) dalam level hirarki yang lebih tinggi lagi derajat "membuang sampah".

Mulai banyak bermunculan contoh-contoh baik dan berhasil tersebut (di luar pentingnya kita tahu kemungkinan terburuk bila tak melakukan apapun). 

Beberapa saat yang lalu saya diundang oleh tim Lab Tanya (atas nama YPBB) di area Bintaro untuk berbagi tentang pengelolaan sampah rumah tangga. Di komunitas ini, justru saya melihat contoh nyata (walaupun hanya lewat cerita dalam beberapa jam karena keterbatasan waktu) tentang arah kegiatan yang lebih mengarah ke level pengurangan sampah. Mereka menyebutnya dengan Strategi Pintu Masuk. Mengapa strategi itu penting? Sampah itu gak ujug-ujug ada di tempat sampah loh. Tapi pasti ada perilaku kita yang membuat mereka ada di tempat sampah. Itu salah satu paradigma yang penting pisan!


Nampang dulu bentar :) 


Dengan Strategi Pintu Masuk tersebut dan juga dengan model simulasi 7 hari saja, ternyata jumlah sampah beberapa warga bisa berkurang secara signifikan. Bisa sampai 80% nya loh. Hebats pisan kan ya? 


Contoh penguranan sampah yang dilakukan oleh salah satu warga

Salah satu lagi poin penting yang tim Lab Tanya bersama warga Bintaro adalah pendokumentasikan proses simulasi. Sebentar proses yang tampak tapi pendokumentasian bagus (dan pasti di baliknya ada proses pembelajaran yang panjang di tim kerja Lab Tanya)
Pertemuan yang sebentar dengan warga Bintaro tersebut kemudian membuat saya ingin tergabung di grup wasap warga. Ceritanya mau belajar proses pendampingannya. Eta grup gada matinya pisan. Sampai ga kekejar bacanya juga (tapi kalau baca grup wasap horehore keburu hahhaha). Lewat skimming di grup, beberapa kali terdengar kabar bahwa ada warga baru yang berminat untuk mencoba simulasi pengurangan sampah tersebut. 

Seperti apa simulasi 7 hari tersebut? Selamat menyimak :) 




*karena contoh perubahan nyata dan keteladanan adalah kekuatan terbesar untuk sebuah perubahan*


follow @1mg1cerita

Friday, 25 March 2016

Aceh dalam Kenangan :)

Tadi siang, dapet kabar dari Fara dan Rahyang bahwa mereka ketemu di Aceh!


Fara dan Rahyang (foto koleksi: Rahyang Nusantara) 

Rahyangnya dulu sempat kerja bareng 1 tim di YPBB dan Faranya adalah alumni program BLP Aceh. Bridging Leadership Program. YPBB (dan saya salah satu fasilitatornya) sempat ikut terlibat di program tersebut di rentang tahun 2007-2011.

Begitu dapet kabar tersebut, ingatan saya langsung melayang ke berbagai hal terkait Aceh! (mie dan kopi sanger salah dua hal yang saya ingat cepats heehhe)

Malem ini, mau flashback dikit tentang Aceh-acehan ah :) Ini beneran mengandalkan ingatan dan hasil bongkar-bongkar dokumen kegiatan. Dulu belum musim hape kamera kaya sekarang soalnya.

2006:
Kali pertama naik pesawat!
Bukan untuk program BLP sih, tapi kalau gak salah jadi notulen untuk kegiatan Kail. Yang diinget, ada pelatihan di rumah kayu dan sesi prakteknya (team building) berlokasi di pantai. Pantai yang dulu kehantem tsunami.

Lalu ada kesempatan selanjutnya untuk jadi tim fasilitator program BLP! Lokasi pelatihannya jauuuuhh dari kota yaitu di Takengon. Ga nemu foto-fotonya. Tapi itu tempat yang indah pisannnnn. Begitu bangun, bisa lihat danau! Di perjalanan, saya pertama kalinya lihat gajah yang ada di alam terbuka, tanpa dikandangin dan hutannya hutan yang masih asli!

Saat itu masih banyak mobil-mobil asing di area Aceh karena masih dalam masa perbaikan setelah porak-poranda tsunami.

2008:
BLP tidak ada tahun 2007. Tapi lalu BLP dilanjut lagi tahun 2008. Saat itu kepanitian dibantu oleh beberapa alumni angkatan satu. Lokasinya tetap tidak di Banda Aceh. Kali ini di Jantho.

Lihat nih kerennya pemandangan dari balik lokasi pelatihan di kala ituuu.


Pemandangan dari Bapelkes Jantho

Kondisi alam di Aceh ini masih banyak yang kereeeeeen dan alami. Saya lupa tepatnya dimana, tapi ada daerah yang selokan dan sungainya masih jernihhhh. Harap maklumi kekatroan saya dan teman-teman kala melihat kondisi yang masih alami ini. Secara, di Jawa udah mulai jarang ada sungai yang jernih. Kalaupun ada, perlu nyusruk-nyusruk jalannya.

Saat itu, fasilitator dari YPBB masih bertiga: saya, David dan Dedi. Selain berkegiatan di kelas, beberapa bagian dari pelatihan juga diadakan di luar seperti di lapangan dan juga spot-spot nongkrong. Pamer beberapa foto dulu nih ya. Seneng banget rasanya pas bongkar-bongkar arsip foto BLP!

Simulasi Kesejahteraan

Kerja kelompok sambil ngademmm

Keseruan sebagian peserta BLP 2


2009:
Melalui program BLP tersebut, mulai tahun 2008 saya minimal setahun sekali ke Aceh!
Gak nemu dimana foto-foto ketika angkatan tiga ini pelatihan. Tapi ada foto bareng angkatan mereka.

Angkatan 3 BLP versi resmi

2010-2011:
Kembali lagi ke Aceh! Tapi tahun 2011 ternyata menjadi tahun terakhir saya ke Aceh untuk BLP! Sedih :(
Tapi cukup bahagia karena selama beberapa tahun bolak-balik ke Aceh dapet banyak pengalaman dan juga teman baru. Dan mudah-mudahan rangkaian pelatihan ini menjadi salah satu peristiwa penting dalam hidup teman-teman BLP juga. Tim YPBB pun bertambah, mulai tahun 2010 ada Rima dan Piki.

Formasi terakhir tim fasilitator BLP - YPBB, kala itu kita pakai pin kenang-kenangan dari peserta!

Pelatihan 4 ini ada 2 gelombang. Gelombang 1 diadakan di Mata Ie dan gelombang 2-nya diadakan di kantor BLP. Ada bang Yeye sebagai staf Aceh di angkatan 3 dan di angkatan 4 ada bang Dayat. Selain itu ada TOT juga untuk para alumni yang mulai belajar fasilitasi di acara pelatihan angkatan 4.

Ini rumah tempat pelatihan angkatan 4! 

Warna rumah di aceh cenderung gonjreng-gonjeng. Dan rumah kayu sebagai rumah yang lebih berkelanjutan, ternyata makin lama makin berkurang.

Salah satu rumah Aceh yang ditemui saat kunjungan lapangan


Angkatan 4 yang seru!

Selain kegiatan di Aceh, ada juga kegiatan magang di pulau Jawa bagi beberapa orang peserta dan YPBB sempat menjadi salah satu organisasi tujuan magang. Selain mengenal aktivitas di lembaga tujuan, para peserta pun belajar tentang pola hidup yang baru. Itu semua menjadi pengalaman baru buat mereka.

Di angkatan 4 BLP, pasca magang mereka berpelatihan di Bandung. Sharing pengalaman dan beberapa aktivitas layaknya pelatihan. Saya dan Rima waktu itu menengok mereka dan ngajak mereka melihat kota Bandung sejenak. 

Hmmm, ada banyak kenangan berseliweran di kepala saat melihat kumpulan foto kegiatan BLP Aceh di rentang 2007-2011. Dan sebenernya banyaaaaakk banget yang saya pengen ceritain. Ini bagai menyusul puzzle ingatan dari banyak peristiwa di masa itu. 

Dan akhirnya semua menjadi kenangan indah. Sampai ketemu lagi Aceh dan teman-teman BLP :)
Biar bagaimanapun, Aceh lebih berpeluang untuk berkelanjutan dibanding pulau Jawa yang alamnya sudah hancur lebur ini!

*seluruh foto dari arsip YPBB - BLP








Follow @1mg1cerita

Wednesday, 16 March 2016

Kimchi + Kimjan

Edisi cerita minggu ini berbau Korean ah. Bukan karena kemarin-kemarin banyak nonton film Korea sih, tapi karena di hari minggu kemarin, saya ikutan kegiatan ini niiiih


Poster: Kuncup Padang Ilalang

Membuat fermentasi rumahan ini sebenernya adalah tantangan yang sudah dari lama ingin saya jawab. Walaupun di Indonesia kita gak mengalami musim dingin sehingga harus nyetok makanan (sayur atau buah) fermentasi, tapi kondisinya adalah ada kalanya kita punya stok sayur atau buah berlimpah. Daripada sayur atau buah tersebut jadi food waste, mending diawetin sehingga gak terbuang. Dikulkasin bisa tentunya. Dan fermentasi adalah salah satu alternatif pengawetan lainnya. 

Jaman kuliah (sebagai anak biologi tea lah ya, maenya weh) saya sempat dapet mata kuliah yang didalamnya belajar tentang fermentasi-fermentasian. Tapi kayanya banyakan teori dan prinsip yang lupa daripada yang inget. Yang samar-samar diinget adalah dulu sering praktikum bikin ini itu yang ujungnya bisa dimakan. Bagean makan-makan aja inget wkwkwk. Jadi emang perlu belajar lagi biar semangat dan derrrrr dicoba dijalankan dalam keseharian.

Berbekal keler kaca, lap kain bersih, karet gelang dan uang 25ribu sajah, akhirnya berangkatlah saya ke Rumah Kail untuk belajar lagi tentang proses fermentasi. 25 ribu sih tanpa biaya untuk pematerinya. Justru biar bisa dapet konsumsi sehat (jagung rebus dan teman-temannya) saat berkegiatan dan pulang bisa bawa hasil olahan kimchi dan juga kombucha (tentang kombucha saya ceritain kapan-kapan ya).

Mari kita kimjan! Kimjan adalah istilah yang dipakai untuk aktivitas bikin kimchi rame-rame. Nama boleh ke-korea-korean, tapi sayurnya pasti bisa didapat di pasar lokal seperti sawi putih, wortel dan timun. Bumbu-bumbunya ada yang hanya ada di Korea jadi perlu dibeli di supermarket khusus, tapi bisa diganti sama yang lokal-lokal, contohnya bubuk cabe. Sisanya bisa banget dari bahan-bahan lokal. Resep lengkapnya bisa diintip aja di blog resep-resep ternama seperti disini.


Ini pas penjelasan awal dari Dhila


Dan saya baru tahu bahwa kimchi ternyata adalah salah satu dari 5 makanan tersehat di dunia! Wah hebaaattttt! Orang Korea katanya sehat-sehat karena biasa makan yang mentah-mentah dan juga aneka fermentasi rumahan. Ini berguna untuk daya tahan tubuh dan bikin mereka ga gampang sakit. Kenapa? Karena dari proses fermentasi tersebut akhirnya makin bertambah banyaklah bakteri-bakteri baik di dalam kimchi dan bakteri-bakteri tersebut baik untuk tubuh. Jadi, catatan penting "mengapa kita perlu makan makanan terfermentasi" selain untuk mengurangi potensi food waste, juga untuk memperbanyak pasukan bakteri yang baik untuk tubuh.

Tahap-tahap pembuatan kimchi hanya 2 saja. Setelahnya, kimchi siap disantap setelah 2 hari disimpan di wadah yang tertutup.


Foto: Jessisca Fam


Foto: Jessisca Fam

Acar adalah makanan yang gak terlalu saya minati. Kalau pesen nasi goreng dan kawan-kawannya di tempat makan, biasanya saya pesan tanpa acar. Dengan aneka pengetahuan baru saat membuat kimchi ini, paling tidak menambah semangat saya untuk mencoba menikmati enaknya acar-acaran seperti kimchi. Apalagi kimchi bukan dibuat dari cuka pabrikan, jelas lebih sehat.

Tapi rupanya lidah ini belum sepenuhnya familiar dengan kimchi. Jadi saya mencoba memasak kimchi menjadi makanan olahan. Resep yang keren-keren dari kimchi silakan digoogling sendiri lah. Misalnya seperti resep sup kimchi ini. Kemarenan, saya akhirnya masak kimchi pakai bahan seadanya di kosan dan sabisa-bisa aja da tanpa resep yang jelas. Hasilnya enakkkkk! Jadi selain sehat, si kimchi ini ternyata bikin rasa seger yang khas bagi makanan olahannya.


Nasi Goreng Kimchi

 

Bihun Kuah Kimchi

Mie Kuah Kimchi


Begitulah hasil petualangan berkimchi ria bersama teman-teman di rumah Kail :)


Friday, 4 March 2016

Beli Cemilan #ZeroWaste Yuk!

Ketika ada di daerah asing dan belum sempat orientasi medan, salah satu masalah adalah: kita akan potensial nyampah pas bela-beli makanan/minuman.

Hal ini kejadian saat saya mau pulang dari Jogja. Saat itu, saya akan membeli makanan bekal karena akan melewati waktu sarapan di kereta saat perjalanan menuju Bandung. Daripada di kereta bela-beli makanan, mending nyari makanan di tempat yang lebih variatif pilihannya.  Jadi visinya adalah: mencari makanan yang minimal bisa buat ganjel-ganjel tapi ga nyampah.

Saya mulai menjalankan misi dengan mendeteksi potensi penjual makanan terdekat dari tempat nginep. Di depan tempat nginep ada toko roti, tapi ternyata sudah tutup. Akhirnya ketemu satu supermarket!

Pada dasarnya saya jarang bela-beli makanan jadi di supermarket kecuali yang keringan dan tahan lama. Rada tutup mata aja dululah dengan potensi sampahnya karena beberapa barang memang masih rada sulit cari alternatifnya walaupun dibeli di pasar tradisional.

Dengan kebutuhan cari "sarapan" mulailah mata menjelajah cari makanan yang tak bersampah. Salah satu pilihan adalah BUAH. Kepikirnya kaya apel dan sejenisnya. Tapi dipikir-pikir lagi, kan gada pisau-pisau-an. Atau bisa juga sih beli buah sejenis pisang atau jeruk yaitu buah yang bisa dimakan tanpa harus pakai pisau.

Sebelum akhirnya memutuskan beli buah, saya kelalang-keliling cari alternatif lain. Rasanya hampir semua berkemasan plastik warna-warni. Tak bisa didaur ulang pula plastik macam itu. Ujungnya jadi sampah dan numpuk menuh-menuhin TPA. Nah, tapi satu bagian yang menarik yaitu snack-snack curah. Belum berkemasan dan dipajang dengan cantik.




Gorengan emang gak baik heheheh, tapi ini pikabitaeun. Tapi kemudian mikir lagi: Kira-kira bakal bisa ga ya, beli cemilan ini pakai wadah yang dibawa sendiri?

Dan hasilnya adalaaaahhhhhhhhhhh: BISA.


Wadah snack yang saya bawa sendiri. Misting tea geuning. Cuma lupa gak foto bagian isinya zzz


Hatur nuhun kepada mas-mas superindo yang mau bolak-balik ladenin pembeli bawel ini  :)
Saya beli 2 item snack yaitu jamur dan teri goreng tepung. Kuduna ngurangin gorengan, tapi sesekali mah gapapa lah (ngeles).

Pertamanya saya minta si mas timbang mistingnya dan lalu di-nol-in. Lalu saya minta si mas isi setengah bagian misting dengan jamur goreng. Lalu masnya nimbang jamurnya + kasi label harga. Dan di-nol-ini lagi. Kemudian minta lagi si mas isi setengah bagian misting dengan teri goreng dan masnya nimbang lagi dan kasi label harga.Kenapa harus di-nol-in? Biar berat mistingnya terkurangi.


Timbangan elektrik yang dimaksud

Timbangan elektrik ini biasanya juga dipakai untuk nimbang daging dan kawan-kawannya. Area buah punya timbangan lagi tersendiri. Sama-sama elektrik juga. Sebenarnya di pasar tradisional dan toko-toko kecil sudah banyak yang menggunakan timbangan elektrik ini. Tapi saat diminta untuk memberikan layanan timbang menggunakan wadah milih pembeli, gak cukup banyak yang paham dan mau ngeladenin. Mungkin asa ribet atau emang teu biasaeun weh makenya. Yang mana, kalaupun "dibimbing" dan dikasi tutorial secara baik-baik, responnya gak selalu positif. Malahan ngeluarin pernyataan-pernyataan aneh semacem:

1) "pokonya pembelian minimal 1 ons" --> har, kan tinggal tulis aja harga sekilonya berapa. Mau beli segimanapun, penjual gausah mikir lagi atau pegang kalkulator untuk hitung harganya karena langsung tertulis di display timbangannya.
2) "gak bisa neng kalo gitu" --> ituteh padahal udah dikasi tutorial tapi keukeuh. Mungkin alasan lainya terkait dengan banyaknya antrian di belakang saya si mamangnya males ladenin pembeli dengan "rikues khusus"
3) dll , sila boleh ditambahkan oleh teman-teman yang pernah berada pada kondisi serupa.

Sip, berkat kerja sama dengan si mas tukang timbang maka visi beli "sarapan" cemilan yang tanpa sampah TERLAKSANA!
Beli cemilan #ZeroWaste ? Bisa dongggggggg


Follow @1mg1cerita




Saturday, 27 February 2016

Coba Masak Mie Sehat Yuk!


Apakah bahan dasar dari mie? Tepung?
Ya betullll!

Dan sebetulnya dari manakah tepung terigu itu?
Betul banget bahwa tepung terigu itu terbuat dari gandum. Yang mana gandum tidak ditanam di Indonesia. Gak bisa tumbuh soalnya.

Artinya, kalau kita makan mie, sudah dapat dipastikan dia adalah barang impor yang didatangkan dari luar negeri. Sesuatu yang didatangkan dari jauh biasanya membutuhkan bahan bakar (bensin untuk transport darat/aftur untuk pesawat) untuk ngangkut yang lebih banyak dari makanan yang diperoleh secara lokal. Kalau bahasa di temen-temen lingkungan, disebutnya berjejak ekologis yang lebih tinggi.

Ketika pengen pisan mie dari tepung terigu, sekarang berarti kita bisa tahu bahwa di dalamnya terkandung resiko ini itu terkait pengrusakan lingkungan. (((serem amet ya))))
Tapi sesekali dipilih, boleh juga dong untuk variasi karbohidrat. Hal yang mau saya ceritain kali ini adalah mie yang lebih sehat untuk dipilih. Apakah itu?

Mie yang banyak beredar saat ini adalah mie instan! Dikemas praktis untuk 1 porsi lengkap dengan bumbu dan berharga relatif murah. "Mie instan ini bukan hanya soal selera namun sudah jadi budaya.", begitu yang Astri bilang. Saya juga dulu sempat mengalami masa itu. Saat di rumah selalu tersedia stok mie instan sekardus. Sarapan di kala itu moal salah deui: kalau gak mie instan ya nasi + goreng telor. Karena pagi-pagi biasanya juga belum ada makanan lain di dapur.

Makan mie instan ini katanya gak baik. Tapi ada juga artikel-artikel yang bilang bahwa mie instan itu aman. Itu perdebatan yang tak kan pernah selesai. Banyak kepentingan dalam isu ini. Yang biasanya dipermasalahkan adalah masalah pengawet, pewarna dan penyedapnya yang berupa zat aditif berbahaya. Isu lain adalah kemasan. Kemasan mie ini pastilah plastik berwarna-warni. Tak ada yang bisa mendaur ulangnya. Kalaulah ada yang bisa membuat si kemasan mie jadi dompet dan barang-barang lainnya, itu sebenarnya upaya untuk memperlama masa hidup kemasan tersebut sebelum akhirnya dibuang (itupun kalau emang beneran produk "daur ulang" itu cukup bagus hasilnya dan ada orang yang mau make). Saat sudah tidak dipakai dan dibuang, dia gak ancur loh ya. Ada yang bilang reratus atau beribu tahun. Mari kita anggap dia gak hancur sajalah, supaya kita mikir sejuta kali saat mau membeli kemasan kecil-kecil yang hanya sekali pakai.

Setelah saya mengikuti pelatihan bahaya zat aditif pada makanan di YPBB, akhirnya tahu bahwa ada pilihan lain untuk memperoleh makanan yang lebih sehat. Kalau mau makan mie, bumbuin sendiri mienya. Belilah mie yang kemasannya besar seperti mie telor. Masih ada sampah? Tentunya. Kemasannya berwarna-warni? Tentunya. Minimal ini selemah-lemahnya "iman" dalam  "mengurangi dosa" ke bumi dengan membeli kemasan yang lebih besar.

Pilihan lain, mie basah yang berbungkus plastik bening sehingga kemasannya lebih memungkinkan untuk didaur ulang. Bahasa gampangnya: tukang pulung/rongsok/pengepul mau terima. Tapi masalahnya: apakah kita yakin bahwa tak ada pengawet dan pewarna berbahaya di dalam mie basah tersebut?

Makin banyak tahu, makin rieut dan rumit memang!

Tapi tenanglah, masih ada banyak jalan di saat kita ingin hidup lebih sehat (dan ga nyampah). Kalau niat banget, kita bisa coba bikin mie sendiri. Saya sampai level itu tapinya. Kapan-kapan saya perlu coba! Termasuk coba bikin mie yang bahan dasarnya bukan atau tidak full tepung terigu misalnya tepung ganyong dan tepung lokal lainnya. Jangan tanya cara bikinnya mie dari tepung lokal ini ya, kan saya juga belum coba.

Pilihan lain adalah beli mie yang diproduksi oleh orang yang terpercaya dan tanpa kemasan-kemasan! Ini yang sekarang lagi trend di kantor. Kita rame-rame pesen ke pakiki. Dia asalnya gak niat dagang. Tapi emang istrinya jago masak. Bayangin, dengan anak empat yang 2 diantaranya masih balita dan tanpa pembantu, ko mereka sempet-sempetnya bikin mie sendiri. Karena anak-anak suka mie, demi makanan sehat dan juga memanfaatkan sayur-sayuran yang ada (biasanya mereka dikirim rutin sayur dari daerah dampingan).

Kita baru coba 2 kali rame-rame pesan mie sehat ini. Kiki bawa pakai wadah-wadah besar (sejenis wadah besar plastik yang dipakai tukang donat) dan kita sebagai pembeli bawa misting (kotak makanan) untuk membawanya pulang. Gak nyampah deh jadinya. Daya tahan mie beda jauh dengan mie instan karena gak pake pengawet-pengawet buatan. Tahan 4 hari di kulkas dan bisa seminggu lebihan kalau di freezer. Mending beli dikit-dikit sesuai kebutuhan aja, biar dapet terus mie yang masih fresh. Direncanakan akan selalu produksi seminggu sekali katanya.


Mie mentah yang enak juga buat langsung dicemil  (Foto Koleksi: Rizky Aghistna)

Berat mie satu porsinya (1 porsi = satu gundukan) 200 gram. Ditakar untuk kira-kira sekali makan (porsi rada besar). Kalau lihat di gambar, yang warnanya kemerahan adalah mie yang dicampur wortel dan yang kehijauan dicampur sawi.


Kiri: Mie Testeran. Kanan: Mie Saus Bayam. Keduanya bikinan Bu Anti ( istrinya Kiki emang jago masak! Yang kanan terbukti enak, yang kiri cuma liat gambarnya aja udah ngilerrrr)

Rasanya? Enaaaaaaaaakk!
Banyak orang yang gak percaya sama lidah saya karena segala makanan juga biasanya dirasa enak-enak aja menurut saya. Tapi rasa enak ini telah divalidasi kebenarannya oleh beberapa teman-teman saya yang 1 angkatan pembelian mie.


Ini beberapa penampakan mie bikinan saya. Sluruuuuupppp!


Dari pengalaman memasaknya, mie ini bisa dibuat mie kuah maupun kering. Bumbunya standar aja seperti ulekan bawang merah, bawang putih, kemiri, garam, gula, merica. Paduan garam dan gula yang pas biasa saya gunakan untuk menimbulkan rasa gurih. Tentunya gak segurih pakai MSG atau penyedap macem vetsin/kaldu bubuk (royco and the gank), tapi karena udah terbiasa, ya emang kita gak butuh rasa yang gurih-gurih amat kok. Rasa gurih bisa didapat juga dari kaldu. Kemarin ini karena cari yang gampang-gampang, dikasi suwiran pindang tongkol dan pada kesempatan lainnya pakai teri medan. Untuk rasa pedas bisa ditambah potongan cabe rawit. Sebenarnya rasa pedas bisa didapat dari saus sambal sachet/botolan, tapi berhubung misinya adalah mengurangi sampah dan pengawet + pewarna yang berbahaya, maka cabe rawitlah yang jadi menjadi andalan. Juga bisa ditambahkan kecap untuk rasa manis. Biar lebih sehat dan segar, bisa tambahkan sayuran apapun. Lebih keren kalau sayurnya organis. Tapi berhubung kemarin kebon Soreang lagi gak panen, saya tambahkan sayur yang dibeli dari pasar.

Mengapa sampai saya tuliskan bumbu-bumbunya? Karena ada beberapa temen yang ternyata gak biasa masak mie dengan bumbu sendiri. Seumur hidupnya, kenal mie hanya ada 2 jenis. Pertama, mie bikinan orang lain. Kedua, mie instan yang gak perlu pake mikir masaknya. Tinggal panasin air dan sobek sana sobek sini bumbunya. Demikianlah melekatnya budaya mie instan di Endonesah tercinta ini. Ampuuunn!

Temen saya Mega, mencoba mie dengan bumbu sambel matah. Katanya enak!


Mie Sambel Matah (Foto Koleksi: Mega)


Mie ini bisa juga diolah juga jadi mie ayam. Kata teh Tiwi sebagai pembuatnya: ENAK!



Mie ayam (Foto Koleksi: Tiwi Arsianti)


Teman-teman lainnya coba masak mie dengan variasi bumbu dan campuran.


Mie-nya Debby (kiri) dan Mie-nya Kandi (kanan). Kaya enak kan? 


Anak-anak juga menyukai mie ini. Ya memang sih tergantung kepandaian memasak ibu/bapaknya. Tapi dengan niat kuat, Mita salah satu ibu-ibu muda yang tak pernah memasak mie selain mie instan pun BISA! Pembuktiannya dilihat dari habisnya mie yang dimasak Mita untuk Laut, putri kecilnya.


Laper apa doyan, Neng? :P (Foto Koleksi Amanda Mita)

Akhirnya budaya memasak sendiri muncul lagi dengan kemunculan mie homemade ini. Yeah!



Follow @1mg1cerita



Friday, 19 February 2016

Waktu dan Kesempatan


Waktu. Itulah kesempatan yang paling mahal yang kita miliki.

Mau dipake molor, mau dipake beramal, mau dipake kerja, mau dipake piknik, mau dipake pacaran, mau dipake ngurus anak, mau dipake belajar, mau dipake berjuang, mau dipake ngerumpi, mau dipake ngobrol, mau dipake baca, mau dipake nulis, mau dipake ibadah, mau dipake olahraga, mau dipake masak, mau dipake mewarnai, mau dipake naek mobil, mau dipake naek angkot, mau dipake jalan kaki, mau dipake belanja, mau dipake berkebun, mau dipake rapat, mau dipake galau, mau dipake nongkrong, mau dipake iri, mau dipake marah-marah, mau dipake untuk bahagia, mau dipake ini itu segala macem pun bisa.

Kemarenan sempat nonton TED yang berbicara tentang rasa syukur. Menarik untuk disimak!




Video TED yang berdurasi rada panjang ini padat berisi. Banyak ungkapan bagus yang dilontarkan oleh David Steind Rast dan rasanya banyak yang bisa diambil sebagai pembelajaran. Kali ini saya akan mengutip beberapa ungkapan yang terkait dengan betapa berharganya waktu dan kesempatan.

Waktu adalah hadiah. Anda tidak perlu berjuang untuk mendapatkannya. Anda tidak menghasilkannya dengan cara apapun. Anda tidak memiliki cara untuk memastikan bahwa akan ada waktu lain yang akan diberikan untuk Anda. 

Meskipun begitu, waktu adalah hal paling bernilai yang dapat diberikan kepada kita. Saat ini, dengan segala kesempatan di dalamnya. Jika kita tidak mempunyai saat ini, kita tidak akan punya kesempatan untuk melakukan atau mengalami apapun, dan saat ini merupakan hadiah. Momen ini merupakan hadiah.

Jadi, waktu adalah fasilitas gratis yang diberikan semua orang. Tanpa terkecuali. Dan penggunaan waktu tersebut mutlak diberikan kewenangannya kepada setiap orang. KESEMPATAN! Itu kata kuncinya. Kita biasanya baru akan merasakan bahwa sesuatu itu berharga setelah kita merasakan manfaat dari hal tersebut. Bila kita bisa menggunakan waktu dan kesempatan yang diberikan tersebut untuk hal-hal bermanfaat dan bermakna, disitulah kita akan bersyukur dan disitulah kita akan bahagia.

Penderita penyakit yang sudah divonis “waktu anda tinggal sekian bulan lagi” setidaknya punya 2 pilihan. Pilihan pertama: merutuki nasib dan bersedih sembari menanggung penderitaan rasa sakit sampai akhirnya meninggal (serem amet ya pilihan kata-katanya). Atau pilihan yang mungkin lebih membahagiakan adalah mencoba menerima kenyataan yang terjadi dan kemudian memilih kesempatan untuk memanfaatkan waktu yang masih tersisa. Toh, sekian bulan ini pun terdiri dari ratusan hari, ribuan jam dan sekian menit dan sekian detik. Bahkan (kalau lihat cerita-cerita di film), dengan perasaan bahagia pasca divonis tersebut, umur seseorang malah bisa jadi lebih panjang dari yang diperkirakan dokter.





Demikian juga bila kita akan ditinggalkan atau meninggalkan suatu tempat, suatu komunitas atau orang yang bermakna bagi hidup. Bila perpisahan itu terjadi pada suatu waktu yang telah ditentukan, maka pilihan selalu ada. Tinggal pilih: mau bersedih dan mendramatisir suasana ataukah mau memanfaatkan waktu bersama yang masih tersisa (dengan semaksimal mungkin).



Follow @1mg1cerita