Dari mulai bangun tidur pun, kita bisa mulai menemui gap. Misalnya, kita ingin bangun tidur jam 5 pagi. Tapi ternyata kita baru melek jam 6. Padahal alarm sudah dipasang rangkap 2. Kemudian pas sarapan. Kita misalnya berharap ingin menikmati kelezatan bubur ayam yang dijual oleh mamang-mamang yang lewat depan rumah. Ternyata eh ternyata si mamang sedang liburan sehingga batallah acara sarapan bubur lezatnya.
2 contoh yang yang saya berikan barusan sih, baru contoh ketidakpuasan akan sesuatu yang sifatnya tidak prinsip. Nah, tapi cukup banyak gap-gap yang kita temui dan itu bisa sangat mengganggu kenyamanan. Misalnya karena hal yang terjadi benar-benar berbeda dengan prinsip dasar atau nilai yang kita anut. Kalau sudah begitu, akhirnya yang terjadi adalah STRESS, mulai merasa terganggu dan bahkan bisa sampai membuat kita berpikir ulang untuk berada di suatu lingkungan.
Hmm, saya sempat mengalami ketidakpuasan-ketidakpuasan seperti itu. Dan saya rasa temen-temen pun pasti penah mengalami. Walau bentuknya berbeda atau juga kadar besarnya gap pun bisa sangat bervariasi.
Gap itu adalah suatu aksi. Dan reaksi yang diberikan oleh setiap orang bisa berbeda-beda. Mulai dari kesal tapi dipendam sendiri, nulis di buku harian, ngomel-ngomel, memikirkannya siang malam saking kesalnya, memikirkan solusi penyelesaian, mulai memecahkan masalah, mencoba melupakan masalah, curcol di media sosial dan lain-lain.
Saya termasuk orang yang rada jaim di media sosial. Kalau menemui kekesalan yang disebabkan karena adanya gap, rasanya pengen ikut maki-maki dan curcol juga di media sosial. Biar semua orang tau kalau saya sedang kesal dan tidak menyukai suatu keadaan. Berharap ada yang ikut berempati dan bersimpati. Juga berharap ada yang bisa memberi solusi.
Ah, tapi itu tidak pernah saya lakukan. Kalau dihitung-hitung untung ruginya, sepertinya banyak ruginya.
Walau begitu, sebagai manusia yang berpikir dengan perasaan, rasa kesal itu sering singgah juga. Nah kalo sudah sampai tahap errorejing, biasanya saya meminjam kuping-kuping teman.
gambar dari sini |
Saya cerita sedikit tentang istilah "meminjam kuping-kuping teman" ini ya.
Jadi salah satu kebiasaan yang saya lakukan adalah bercerita ke teman tentang kekesalan atas gap yang saya alami. Lengkap dengan urutan cerita dan berbagai rasa yang menyertainya. Dengan cara itu, apakah saya mendapatkan solusi dari rasa kekesalan dan juga gap yang dialami tersebut? Belum tentu hehhehe. Ada sih beberapa orang yang akan langsung menanggapi dan memberikan solusi. Itu biasanya tipe orang yang berpikir cukup waras (logis maksudnya).
Namun sebenarnya yang saya butuhkan saat sedang eror biasanya memang "kuping-kuping". Saya tuliskan menggunakan kata ulang karena saya di saat-saat kritis biasanya membutuhkan teman yang bisa cukup berempati. Sehingga butuh "kuping" full = "kuping-kuping". Bukan hanya kuping yang bisa dan asal mendengar saja.
Yeah! Terimasih teman-temanku sekalian, atas pinjaman kuping-kuping kalian selama ini :)
No comments:
Post a Comment